Shadaqahb. Zaini Dahlan, Ulama Makkah dan Pengajar Shaulatiyah yang Wafat di Kendal (w. 1922) Sayyid Ahmad b. Zainรฎ Dahlรขn (w. 1885) adalah seorang ulama besar Makkah dan Grand Mufti Madzhab Syafi'i yang menjadi mahaguru ulama besar Nusantara generasi akhir abad ke-19 M. Di antara murid dari Sayyid Ahmad b.
Al-Sayyid Ah{mad ibn Zayni> Dah{la>n yang dilahirkan di Makkah pada 1232 H 1816 M dan wafat di Madinah pada 1304 H 1886 M menuangkan penjelasannya mengenai keimanan Abu> T{a>lib di dalam karyanya yang berjudul Asna> al-Mat}a>lib fih Abi> T{a>lib. Argumentasi-argumentasi yang menunjukkan kepada keimanan Abu> T{a>lib adalah bahwa [1] Abu> T{a>lib sengaja merahasiakan keimanannya kepada kenabian Nabi Muhammad saw semata-mata untuk melindungi Nabi Muhammad saw beserta perjuangan dakwahnya, [2] Abu> T{a>lib mendapatkan syafaโ€™at yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad saw, dan [3] Abu> T{a>lib menyatakan dirinya sebagai pengikut agama yang dianut oleh ayahnya, Abd al-Mut}t}alib, yakni agama h}ani>f yang mengesakan Allah Swt. Dengan mempunyai pemahaman yang tepat mengenai keimanan Abu> T{a Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free PEMIKIRAN AแธคMAD IBN ZAYNฤช DAแธคLฤ€N DALAM ASNฤ€ AL-MAแนฌฤ€LIB Fฤช NAJฤ€H ABฤช แนฌฤ€LIB MENGENAI KEIMANAN ABลช แนฌฤ€LIBAhmad Choirul Rofiq AbstrakAl-Sayyid Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn yang dilahirkan di Makkah pada 1232 H 1816 M dan wafat di Madinah pada 1304 H 1886 M menuangkan penjelasannya mengenai keimanan Abลซ แนฌฤlib di dalam karyanya yang berjudul Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abฤซ แนฌฤlib. Argumentasi-argumentasi yang menunjukkan kepada keimanan Abลซ แนฌฤlib adalah bahwa [1] Abลซ แนฌฤlib sengaja merahasiakan keimanannya kepada kenabian Nabi Muhammad saw semata-mata untuk melindungi Nabi Muhammad saw beserta perjuangan dakwahnya, [2] Abลซ แนฌฤlib mendapatkan syafaโ€™at yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad saw, dan [3] Abลซ แนฌฤlib menyatakan dirinya sebagai pengikut agama yang dianut oleh ayahnya, Abd al-Muแนญแนญalib, yakni agama แธฅanฤซf yang mengesakan Allah Swt. Dengan mempunyai pemahaman yang tepat mengenai keimanan Abลซ แนฌฤlib, maka setiap orang yang beriman dapat menerapkan keyakinan teologisnya secara inklusif karena orang tersebut dalam berteologi tidak mudah melemparkan tudingan kafir kepada orang lain yang berbeda mazhab, keyakinan, maupun agama. Di sinilah terletak urgensi teologi inklusif dalam mengikis radikalisasi agama. Selain itu, orang tersebut dapat menciptakan suasana kehidupan beragama di lingkungan sekitarnya secara damai penuh dengan kerukunan sehingga terhindar dari konflik keagamaan. Pengajaran sejarah Islam hendaknya disampaikan dengan pendekatan yang tepat sehingga mampu menampilkan pencerahan yang mengantarkan pada sikap keberagamaan yang mendatangkan kedamaian bagi seluruh lapisan masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang keyakinan dan mazhab keagamaan. Kata kunci Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn, Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abฤซ แนฌฤlib, Takfฤซr, Deradikalisasi Agama Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201750 Ahmad Choirul RofiqPENDAHULUANSejarah masuknya Islam ke Indonesia disimpulkan oleh beberapa ahli dalam acara seminar yang diselenggarakan di Medan pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriah atau abad ketujuh masehi secara langsung dari Arab; daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera dan setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja pertama yang beragama Islam berada di Aceh; orang-orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian dalam proses penyebaran Islam selanjutnya; para mubaligh penyebar Islam tersebut merangkap sebagai saudagar pedagang; penyiaran agama Islam itu dilakukan dengan cara damai; dan kedatangan Islam itu memberikan pengaruh kepada pembentukan peradaban di Karena penyebarannya yang ditempuh secara damai, maka umat Islam Indonesia bersifat moderat. Selain diakui sebagai Islam moderat, sebutan lainnya adalah Islam wasathiyah. Dalam terminologi kajian Islam di dunia internasional, Islam wasathiyah sering diterjemahkan sebagai justly-balanced Islam Islam berkeseimbangan secara adil atau middle path Islam Islam jalan tengah. Tradisi umat Islam Indonesia sebagai ummatan wasathan telah terbentuk melalui perjalanan sejarah amat panjang. Salah satu distingsi utama kaum Muslimin Indonesia itu adalah konsistensi pada pilihan terhadap paradigma Islam wasathiyah. Dengan paradigma dan praksis wasathiyah, umat Islam Indonesia dapat tercegah dari sektarianisme keagamaan, kesukuan dan sosial-politik yang bernyala-nyala. Karena itulah, kaum Muslimin Indonesia yang memiliki kecenderungan pemahaman dan praktik keislaman yang berbeda dalam hal ranting furuโ€™iyah terhindar dari pertikaian dan konflik yang bisa tidak berujung. Dengan distingsi wasathiyah itu pula, arus utama Muslim Indonesia dapat bersikap inklusif, akomodatif dan toleran pada umat beragama lain. Tanpa konsistensi pada Islam wasathiyah, dengan realitas demografis Muslim sebagai mayoritas absolut penduduk di negeri ini sulit dibayangkan bisa terwujud negara-bangsa Inilah agama yang disebut sebagai Islam with smiling Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia Kumpulan Prasaran pada Seminar di Aceh, Cetakan III Jakarta PT Al-Maarif, 1993, Azra, โ€œKembali ke Jati Diriโ€ dalam REPUBLIKA, 17 November 2016 dan Azra, โ€œIslam in South Asia Tolerance and Radicalismeโ€ makalah disampaikan pada Miegunyah Public Lecture, The University of Melbourne, 6 April 2005 dan Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 51 Meskipun masyarakat Muslim Indonesia secara umum mengedepankan sikap moderat, namun terdapat sebagian kelompok Islam yang dikategorikan radikal dan cenderung menempuh jalan kekerasan dalam menyampaikan aspirasinya. Gerakan-gerakan Islam radikal sebenarnya sudah muncul seiring dengan berdirinya negara ini. Namun, gerakan-gerakan tersebut relatif tertekan ketika rezim Soeharto berkuasa. Pada 1998 setelah rezim Soeharto tumbang dan digantikan dengan Orde Reformasi yang lebih memberi kebebasan berpartai, berkelompok, dan berpendapat, maka gerakan-gerakan tersebut kembali muncul. Tak pelak, tuntutan pendirian syariah Islam dan negara Islam kembali merebak seiring dengan munculnya partai-partai Fenomena radikalisme di kalangan mahasiswa bahkan benar adanya. Salah satu buktinya adalah tertangkapnya lima dari tujuh belas anggota jaringan Pepi Fernando berpendidikan sarjana, tiga di antaranya merupakan lulusan Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berhasil dilumpuhkan oleh Detasemen Khusus Densus 88 Anti Teror Mabes Polri pada tahun antara karakteristik Islam radikal adalah bersikap ekstrem, terlalu fanatik pada pendapatnya, tidak toleran terhadap adanya perbedaan pendapat, cenderung mengkafirkan pihak lain, dan bahkan menghalalkan pembunuhan terhadap setiap Oleh karena itu, salah satu upaya untuk menanggulangi radikalisme agama ialah dengan mengubah cara pandangnya agar tidak mudah melakukan takfฤซr menuduh kafir kepada pihak lain. Terkait dengan sikap takfฤซr inilah, terdapat pemikiran ulama yang sangat penting untuk dikaji. Ulama tersebut bernama Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn 1232-1304 H atau 1817-1886 M yang menulis buku Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abฤซ แนฌฤlib. Intisari karya tersebut adalah bantahan terhadap sebagian umat Islam yang menuduh kafir kepada Abลซ แนฌฤlib 4Moh. Dliyaโ€™ul Chaq, โ€œPemikiran Hukum Gerakan Islam Radikal Studi Atas Pemikiran Hukum dan Potensi Konflik Sosial Keagamaan Majelis Mujahidin Indonesia MMI dan Jamaโ€™ah Anshorut Tauhid JATโ€ dalam Tafaqquh, Vol. 1, No. 1, Mei 2013, โ€œRadikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa Sebuah Metamorfosa Baruโ€ dalam Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011, al-Qarแธฤwฤซ, al-แนขaแธฅwah al-Islฤmiyyah bayna al-Juแธฅลซd wa al-Taแนญarruf Al-Manแนฃลซrah Dฤr al-Wafฤโ€™, 1994, 27 dan 43-58. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201752 Ahmad Choirul Rofiqpaman Nabi Muแธฅammad saw dan penegasan bahwa sesungguhnya Abลซ แนฌฤlib tidak termasuk orang ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn merupakan figur penting dalam genealogi keilmuan Islam di Nusantara karena beliau adalah mufti di Makkah yang bermazhab Syafiโ€™i7 dan menjadi guru bagi ulama-ulama Nusantara pada abad ke-19. Di antara ulama-ulama Indonesia yang pernah berguru kepada Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn yaitu KH Nawawi al-Bantani 1815-1897,8 KH Soleh Darat 1820-1903,9 dan Sayyid Usman 1822-1914.10 Di samping itu, Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn juga sekaligus pelaku sejarah yang bersentuhan langsung dengan kelompok radikal Wahabi yang selalu menerapkan takfฤซr sehingga Muแธฅammad ibn Abd al-Wahhฤb, pendiri mazhab Wahabi, dijuluki sebagai syaykh takfฤซr atau pemimpin pengkafiran.11 Pemikiran Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn yang tertuang di dalam buku Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abฤซ แนฌฤlib tersebut sangat penting untuk dikaji sebab dengan mengetahui argumentasinya dalam membela keimanan Abลซ แนฌฤlib dan kemudian menyebarkan sikap penentangannya terhadap praktek takfฤซr yang dilakukan oleh kelompok radikal Islam, maka diharapkan dapat memberikan pencerahan untuk mendukung upaya deradikalisasi agama Islam. Adapun terapi untuk mengatasi radikalisme agama Islam tersebut ialah melalui pemahaman agama Islam secara benar,12 menjauhi perbuatan berlebih-lebihan yang melampaui batas,13 dan 7Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn, Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abฤซ แนฌฤlib Oman Dฤr al-Imฤm al-Nawฤwฤซ, 2007, 149 dan Khayr al-Dฤซn al-Ziriklฤซ, al-Alฤm Qฤmลซs Tarฤjim li Asyhar al-Rijฤl wa al-Nisฤโ€™ min al-Arab wa al-Mustaribฤซn wa al-Mustasyriqฤซn, Vol. 1 Beirut Dฤr al-Ilm li al-Malฤyฤซn, 1980, Khomsul Fauzi, Studi Analisis Metode Penentuan Arah Kiblat dalam Kitab Maraqi al-Ubudiyah karya Syekh Nawawi al-Bantani, Skripsi IAIN Walisongo, Semarang, 2013, Masrur, โ€œKyai Soleh Darat,Tafsir Faid al-Rahman, dan RA Kartiniโ€ dalam al-Taqaddum, Volume 04, No. 1, Juli 2012, Noupal, โ€œKontroversi tentang Sayyid Utsman bin Yahya 1822-1914 sebagai Penasehat Snouck Hurgronjeโ€ dalam Proceeding AICIS XII, UIN Sunan Ampel Surabaya, Khalik Ridwan, Doktrin Wahhabi dan Benih-benih Radikalisme Islam, vol. 1 Yogyakarta Tanah Air, 2009, al-แนขaแธฅwah al-Islฤmiyyah, 138. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 53 menghindari tindakan pengkafiran kepada sesama Oleh karena itu, umat Islam seharusnya berusaha untuk mengutamakan sikap proporsional iโ€™tidฤl dalam menyikapi setiap permasalahan Sikap proporsional inilah yang senada dengan sikap moderat atau suatu sikap menghindari ekstremisme dan radikalisme16 yang selalu berlebih-lebihan dengan dibarengi penolakan terhadap perbedaan pendapat dan keyakinan, serta tidak memberikan ruang terhadap Di samping itu, umat Islam juga diharuskan untuk melaksanakan penyebaran agama Islam dengan seruan-seruan yang menyejukkan, bijaksana, dan penuh AL-MAแนฌฤ€LIB Fฤช NAJฤ€H ABฤช แนฌฤ€LIB Silsilah lengkapnya adalah al-Sayyid Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn ibn Utsmฤn Daแธฅlฤn ibn Niโ€™mat Allฤh ibn Abd al-Rahman ibn Muแธฅammad ibn Abd Allฤh ibn Utsmฤn ibn Aแนญฤya ibn Fฤris ibn Musแนญafฤ ibn Muแธฅammad ibn Aแธฅmad ibn Zaynฤซ ibn Qฤdir ibn Abd al-Wahhฤb ibn Muแธฅammad ibn Abd al-Razzฤq ibn Alฤซ ibn Aแธฅmad ibn Aแธฅmad Mutsannฤ ibn Muแธฅammad ibn Zakariyyฤ ibn Yaแธฅyฤ ibn Muแธฅammad ibn Abฤซ Abd Allฤh ibn al-แธคasan ibn Sayyidinฤ Abd al-Qฤdir al-Jaylฤnฤซ ibn Abฤซ แนฌฤlib Mลซsฤ ibn Zankฤซ Dawsat แธคaq ibn Yaแธฅyฤ al-Zฤhid ibn Muแธฅammad ibn Dฤwud ibn Mลซsฤ ibn Abd Allฤh al-Mahdฤซ ibn al-แธคasan al-Mutsannฤ ibn al-แธคasan al-Sibแนญ ibn Sayyidinฤ Alฤซ ibn Abฤซ แนฌฤlib. Dia dilahirkan di Makkah pada tahun 1232 H / 1816 M. Ia mendapatkan pendidikan dasar dari ayahnya sendiri dan menuntut ilmu di Masjidil Haram. Selesai menimba ilmu di kota kelahirannya, dia dilantik menjadi mufti Madhhab Syafiโ€™i, merangkap sebagai Shaikh al-แธคarฤm, suatu pangkat ulama tertinggi saat itu yang mengajar di Masjidil Haram yang diangkat oleh Syaikhul Islam yang berkedudukan di Istanbul, Turki. Setelah pengabdiannya di Makkah selesai, al-Sayyid Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn berangkat ke kota 14Ibid., Bernard Guralnik dan Victoria Neufeldt, eds., Websterโ€™s New World College Dictionary, Edisi III New York A Simon & Schuster Macmillan Company, 1996, Alฤซ แธคaydar, Itidฤl am Taแนญarruf Taโ€™ammulat Naqdiyyah fi Tayyฤr al-Wasaแนญiyyah al-Islฤmiyyah Kuwait Dฤr Qirแนญฤs li al-Nasyr, 1988, al-แนขaแธฅwah al-Islฤmiyyah, 212-213. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201754 Ahmad Choirul RofiqMadinah. Karena suasana di Kota Makkah kurang aman, tepatnya pada akhir bulan Dzulhijjah 1303 H, beliau memilih pergi ke Kota Madinah, maksudnya hendak bermukim beberapa lama sambil mengajar di sana. Namun di Madinah beliau lebih memfokuskan diri beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Tiap pagi dan sore beliau secara rutin menziarahi makam datuknya Rasulullah, sampai beliau meninggal dunia, tepatnya pada malam Ahad 4 Safar 1304 H atau tahun 1886 M. Jasad yang mulia itu dimakamkan di pekuburan Baqiโ€™, di antara kubah para keluarga dan putri Nabi Adapun di antara karya-karyanya adalah Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abฤซ แนฌฤlib, Tฤrฤซkh al-Duwal al-Islฤmiyyah bi al-Jadฤwil al-Marแธiyyah,Tฤrฤซkh Asyrฤf al-แธคijฤz, Tanbฤซh al-Ghฤfilฤซn, Mukhtaแนฃar Minhฤj al-ฤ€bidฤซn, แธคฤsyiyah alฤ Matn al-Samarqandiyyah fi al-ฤ€dฤb, Khulฤแนฃat al-Kalฤm fฤซ Bayฤn Umarฤโ€™ al-Balad al-แธคarฤm min Zaman al-Nabฤซ alayh al-Salฤm ilฤ Waqtinฤ Hฤdhฤ bi al-Tamฤm, al-Durar al-Saniyyah fฤซ al-Radd alฤ al-Wahhฤbiyyah, Risฤlah al-Istiโ€™ฤrฤt, Risฤlah Jฤโ€™a Zayd, Risฤlah al-Bayyinฤt, Risฤlah fฤซ Bayฤn al-Ilm min Ayyi al-Maqลซlฤt, Risฤlah fฤซ Faแธฤโ€™il al-แนขalฤh alฤ al-Nabฤซ แนขallฤ Allฤh alayh wa ฤ€lih wa Sallam, al-Sฤซrah al-Nabawiyyah wa al-ฤ€tsฤr al-Muแธฅammadiyyah, Syarแธฅ al-ฤ€jurลซmiyah Fatแธฅ al-Jawฤd al-Manฤn, Syarแธฅ al-Aqฤซdah al-Musammฤh bi Fayแธ al-Raแธฅmฤn, al-Fatแธฅ al-Mubฤซn fฤซ Faแธฤโ€™il al-Khulafฤโ€™ al-Rฤsyidฤซn wa Ahl al-Bayt al-แนฌฤhirฤซn, al-Fawฤโ€™id al-Zayniyyah fฤซ Syarแธฅ al-Alfiyyah li al-Suyลซแนญฤซ, Manhal al-Aแนญsyฤn alฤ Fatแธฅ al-Raแธฅmฤn fฤซ Tajwฤซd al-Qurโ€™ฤn, Risฤlah al-Naแนฃr fi Dhikr แนขalฤh al-Aแนฃr, Majmลซโ€™ Yasytamil alฤ Tsalฤts Rasฤโ€™il, Risฤlah fฤซ Dhikr Mฤ Warada fฤซ al-แนขalฤh wa Waโ€™ฤซdihฤ, al-Azhฤr al-Zayniyyah fฤซ Syarแธฅ Matn al-Alfiyyah, Syarแธฅ Alfiyyah Ibn Mฤlik, Risฤlah fฤซ Maโ€™nฤ Qawlih Taโ€™ฤlฤ โ€œWa Mฤ Aแนฃฤbaka min แธคasanahโ€, Risฤlah fฤซ al-Radd alฤ al-Syaykh Sulaymฤn Afandฤซ, Taqrฤซb al-Uแนฃลซl li Taแธฅแนฃฤซl al-Wuแนฃลซl li Maโ€™rifah al-Rabb wa al-Rasลซl, dan Zubdah al-Fiqh. 20Berdasarkan penelusuran penulis didapatkan bahwa penyusunan Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abลซ แนฌฤlib didorong oleh keterpanggilan hati al-Sayyid Aแธฅmad ibn al-Sayyid Zaynฤซ Daแธฅlฤn yang tidak rela menyaksikan 19Amin Farih, โ€œParadigma Pemikiran Tawassul dan Tabarruk Sayyid Ahmad Ibn Zaini Dahlan di Tengah Mayoritas Teologi Mazhab Wahabi โ€, Jurnal Theologia, Volume 27, Nomor 2, Desember 2016, lampiran dalam Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn, Tฤrฤซkh Asyrฤf al-แธคijฤz Beirut Dฤr al-Sฤqฤซ, 1993, 86-87. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 55 pihak-pihak di kalangan umat Islam sendiri yang menyatakan bahwa paman Nabi Muแธฅammad saw yang bernama Abลซ แนฌฤlib tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beriman. Pada saat itu, Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn menjumpai karya al-Sayyid Muแธฅammad ibn Rasลซl al-Barzanjฤซ yang wafat pada tahun 1103 H atau 1691 M yang menerangkan mengenai keselamatan kedua orang tua Nabi Muแธฅammad dan terutama juga tentang keselamatan paman beliau Abลซ แนฌฤlib dengan dilengkapi argumentasi-argumentasi beserta dalil-dalil yang bersumber dari al-Qurโ€™an, al-Sunnah, dan pendapat-pendapat para ulama sehingga mampu menegaskan secara meyakinkan bahwa Abลซ แนฌฤlib benar-benar mendapatkan keselamatan. Namun karena argumentasi Muแธฅammad al-Barzanjฤซ tersebut dituangkan dengan ungkapan-ungkapan yang hanya dapat dipahami oleh kalangan ulama dan justru agak sulit dimengerti oleh kalangan masyarakat umum, maka Aแธฅmad ibnZaynฤซ Daแธฅlฤn berupaya meringkaskannya dalam sebuah karya yang lebih mudah dipahami. Pernyataan Aแธฅmad Zaynฤซ Daแธฅlฤn tersebut dituangkan dalam kata pengantar Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abลซ samping itu, keberadaan para pengikut Wahhabiyyah di sekitar kawasan Arab turut mendorong Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn untuk menghadapi mereka melalui pemikiran-pemikirannya. Di antara kebiasaan Wahhabiyyah adalah sikap mereka yang selalu mengkafirkan orang-orang yang tidak mau mengikuti madhhab Wahhabiyyah. Bahkan Sulaymฤn ibn Abd al-Wahhฤb yang merupakan saudara kandung dari Muแธฅammad ibn Abd al-Wahhฤb pendiri madhhab Wahhabiyyah secara terang-terangan menyatakan penentangannya terhadap tindakan takfir yang dilakukan oleh orang-orang Wahhabiyyah tersebut. Dia mengatakan bahwa Sulaymฤn pada suatu hari bertanya kepada saudaranya, โ€œBerapa jumlah rukun Islam, wahai Muแธฅammad ibn Abd al-Wahhฤb?โ€ Saudaranya itu menjawab, โ€œLimaโ€. Sulaymฤn mengatakan, โ€œEngkau telah menjadikan rukun Islam berjumlah enam. Rukun keenam itu adalah bahwa siapa saja yang tidak mengikuti engkau, maka orang itu tidak termasuk orang beragama Islam. Inilah rukun Islam yang keenam itu.โ€22 Demikianlah kondisi umat Islam ketika berhadapan 21Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn, Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abลซ แนฌฤlib Oman Dฤr al-Imฤm al-Nawฤwฤซ, 2007, Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn, al-Durar al-Saniyyah fฤซ al-Radd alฤ al-Wahhฤbiyyah Kairo Maktabah al-Aแธฅbฤb, 2003, 104-105. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201756 Ahmad Choirul Rofiqdengan para pengikut Wahhabiyyah sehingga Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn melalui pemikiran dan karya-karyanya senantiasa bertekad untuk mengikis perilaku takfฤซr yang menjadi kebiasaan Wahhabiyyah AแธคMAD IBN ZAYNฤช DAแธคLฤ€N TERHADAP KEIMANAN ABลช แนฌฤ€LIB Menurut Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn di dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abลซ แนฌฤlib, argumentasi-argumentasi yang menunjukkan kepada keimanan Abลซ แนฌฤlib adalah bahwa Abลซ แนฌฤlib sengaja merahasiakan keimanannya kepada kenabian Nabi Muแธฅammad saw semata-mata untuk melindungi Nabi Muแธฅammad saw beserta perjuangan dakwahnya, Abลซ แนฌฤlib mendapatkan syafaโ€™at yang dijanjikan oleh Nabi Muแธฅammad saw, dan Abลซ แนฌฤlib menyatakan dirinya sebagai pengikut agama yang dianut oleh ayahnya, Abd al-Muแนญแนญalib, yakni agama แธฅanฤซf yang mengesakan Allah Abลซ แนฌฤlib merahasiakan keimanannya demi melindungi Nabi Muแธฅammad saw beserta perjuangan dakwahnya. ๎€ƒ๎‹ฌ๎ฆ๎ด๎ซ๎Ž๎Žฎ๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎Žž๎Ž ๎Žค๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎ท๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ค๎ณ๎น๎Ž๎€ƒ๎๎ฎ๎Žผ๎Žฃ๎€ƒ๎ป๎ญ๎Žƒ๎€ƒ๎Ž–๎Ž’๎Ž›๎Žƒ๎€ƒ๎ฒ๎Ž ๎ง๎Žฏ๎Žฎ๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎ฃ๎ผ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Ž‡๎€ƒ๎Ž•๎ŽŽ๎Ž’๎Ž›๎Ž‡๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎Žƒ ๎€‘๎ฆ๎ด๎˜๎˜๎Žค๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎จ๎‹๎€ƒ๎๎Ž๎ฎ๎—๎ท๎Ž๎€ƒ๎Žข๎ŽŸ๎Žญ๎Žƒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žซ๎€ƒ๎Ž๎Žฎ๎Žง๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Ž“๎ŽŽ๎Ž ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎€ƒ๎Ž–๎Ž’๎Ž›๎Žƒ๎€ƒ๎ข๎Ž›๎€ƒ๎–๎ณ๎Žช๎Žผ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎€๎ŽŽ๎‹๎Žฎ๎Žท๎€ƒ๎ฉ๎ŽŽ๎จ๎Œ๎ฃ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ฅ๎ŽŽ๎ค๎ณ๎น๎Ž๎€ƒ๎ฐ๎จ๎Œ๎ฃ๎€ƒ๎Ž”๎“๎Žฎ๎Œ๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ป๎ญ๎Žƒ๎€ƒ๎’๎—๎ฎ๎Ž˜๎ณ๎€ƒ๎ช๎ง๎Žˆ๎“๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ค๎ณ๎น๎Ž๎€ƒ๎–๎ณ๎Žช๎Žผ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎Ÿ๎ŽŽ๎Žณ๎Žญ๎ญ๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎ŽŽ๎Œ๎Ž—๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎Ž”๎ด๎ง๎Ž๎Žช๎Žฃ๎ฎ๎Ž‘๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎ ๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž“๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎ˆ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎๎ŽŽ๎Œ๎“๎ท๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎Žซ๎ŽŽ๎ด๎˜๎ง๎ป๎Ž๎€ƒ๎ฎ๎ฌ๎“๎€ƒ๎ŽŽ๎‹๎Žฎ๎Žท๎€ƒ๎ก๎ผ๎Žณ๎น๎Ž๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎Žƒ๎ญ ๎€‘๎ฐ๎Ÿ๎ŽŽ๎Œ๎Ž—๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎ช๎Ž‘๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎ŽŸ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎ž๎œ๎Ž‘๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ค๎ณ๎น๎Ž๎ญ๎€ƒ๎Ž”๎ด๎ง๎ผ๎‹๎€ƒ๎ก๎ผ๎Žณ๎น๎Ž๎‚ด๎€ƒ๎€๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹ ๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎ฎ๎—๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ฌ๎‹ฐ๎Ÿ๎€ƒ๎๎Žช๎ณ๎ญ ๎€ƒ๎€‘๎Ž”๎ด๎‹๎Žฎ๎Žธ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žฉ๎Žฎ๎”๎จ๎ณ๎ญ ๎€‘๎ฆ๎ด๎Ž—๎Žฉ๎ŽŽ๎ฌ๎Žธ๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎Žฎ๎˜๎ค๎‹ฐ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ช๎Ž’๎ ๎˜๎Ž‘๎€ƒ๎•๎Žช๎Žผ๎ค๎‹ฐ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žซ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ฅ๎ŽŽ๎Œ๎ค๎Ž˜๎Ž ๎ณ๎€ƒ๎Žช๎˜๎“๎€ƒ๎€‘๎‚ณ๎Ž๎ ๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ก๎ผ๎Žณ๎น๎Ž๎€ƒ๎ก๎ŽŽ๎œ๎Žฃ๎ท๎€ƒ๎Žฉ๎ŽŽ๎˜๎จ๎ณ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ฆ๎ด๎Ž—๎Žฉ๎ŽŽ๎ฌ๎Žธ๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎–๎„๎จ๎ณ๎€ƒ๎ฑ๎Žฌ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎–๎“๎ŽŽ๎จ๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ค๎ณ๎น๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎ก๎ผ๎Žณ๎น๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ค๎ด๎“ ๎€ƒ๎ก๎ผ๎Žณ๎น๎Ž ๎€ƒ๎ฆ๎‹ ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ค๎ณ๎น๎Ž ๎€ƒ๎Žฉ๎Žฎ๎”๎จ๎ณ๎ญ ๎€ƒ๎€‘๎•๎Žช๎Žผ๎ฃ ๎€ƒ๎Žฎ๎ด๎ ๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎œ๎ฃ ๎€ƒ๎ช๎Ž’๎ ๎˜๎Ž‘ ๎€ƒ๎ฎ๎ซ๎ญ ๎€ƒ๎Ž๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎…๎€ƒ๎€‘๎Ž”๎ด๎‹๎Žฎ๎Žธ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž“๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎ˆ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎๎ŽŽ๎Œ๎“๎ธ๎Ÿ๎€ƒ๎Žฉ๎ŽŽ๎˜๎จ๎ณ๎€ƒ๎ป๎ญ๎€ƒ๎Ž๎Žฉ๎ŽŽ๎จ๎‹๎€ƒ๎ฆ๎ด๎Ž—๎Žฉ๎ŽŽ๎ฌ๎Žธ๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎–๎„๎จ๎ณ๎€ƒ๎ป๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ž’๎ ๎˜๎Ž‘๎€ƒ๎•๎Žช๎Žผ๎ณ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎Ž๎Žช๎ค๎Žค๎‹ฐ๎ฃ๎€ƒ๎ŽŽ๎ง๎Žช๎ด๎Žณ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎Ž๎ฎ๎“๎Žฎ๎‹๎€ƒ๎ฆ๎ณ๎Žฌ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žฉ๎ฎ๎ฌ๎ด๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎ค๎ ๎‹๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Žฎ๎ด๎Žœ๎œ๎›๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žซ๎ญ๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎ŽŸ๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎‹ฐ๎Ÿ๎€ƒ๎Ž๎ญ๎Žฉ๎ŽŽ๎˜๎จ๎ณ๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ฉ๎ฎ๎Œ๎Ž’๎Ž˜๎ณ๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎ฆ๎ด๎Ž—๎Žฉ๎ŽŽ๎ฌ๎Žธ๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎Ž๎ฎ๎˜๎„๎จ๎ณ๎€ƒ๎ข๎‹ฐ๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎•๎Žฉ๎ŽŽ๎Žป๎€ƒ๎๎ฎ๎Žณ๎Žญ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎Ž๎ญ๎Žฎ๎˜๎ณ๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎“ ๎€‘๎€‹๎€‹๎ข๎ฌ๎Ž‹๎ŽŽ๎จ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎“๎Žฎ๎Œ๎ณ๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎›๎€ƒ๎ช๎ง๎ฎ๎“๎Žฎ๎Œ๎ณ๎€Œ๎€Œ๎€ƒ๎€๎ข๎ฌ๎ด๎“๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎ŽŽ๎Œ๎Ž—๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎€ƒ๎ช๎Ž‘๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎จ๎ฃ๎Ž†๎ฃ๎€ƒ๎‹ฏ๎ป๎Ž†๎ฌ๎“๎€ƒ๎€‘๎Ž”๎Ÿ๎ŽŽ๎Žณ๎Žฎ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฏ๎ฎ๎‹๎Žฉ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ช๎—๎Žช๎Žป๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Ž‘๎ฎ๎ ๎—๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฅ๎ญ๎Žช๎˜๎Ž˜๎Œ๎ณ๎ญ๎€ƒ๎Ž๎Žฉ๎ŽŽ๎จ๎‹๎€ƒ๎ช๎Ž˜๎Ÿ๎ŽŽ๎Žณ๎Žฎ๎Ž‘๎€ƒ๎Žš๎ด๎Žฃ๎€ƒ๎ฒ๎จ๎๎ŽŽ๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ค๎ณ๎น๎Ž๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Œ๎”๎จ๎ณ๎€ƒ๎ผ๎“๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž๎Žฉ๎ŽŽ๎จ๎‹๎€ƒ๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎ˆ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ช๎Ž‘๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎Ž‘๎Žฌ๎œ๎ฃ๎€ƒ๎ฆ๎๎ŽŽ๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ช๎Ž‘๎€ƒ๎–๎„๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ก๎Žช๎‹๎ญ๎€ƒ๎ฑ๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎ˆ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žฉ๎ŽŽ๎ด๎˜๎ง๎ป๎Ž๎€ƒ๎ก๎Žช๎‹๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎Ž๎Žซ๎Ž‡๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎Žƒ๎ญ ๎€‘๎Ž๎Žฉ๎ŽŽ๎จ๎‹๎€ƒ๎ฑ๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎ˆ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Ž’๎ณ๎Žฌ๎œ๎Ž—๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎› Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 57 ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎Žช๎จ๎‹๎€ƒ๎ŽŽ๎จ๎๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎ช๎Ž’๎Žฃ๎ŽŽ๎Žป๎€ƒ๎Š๎”๎จ๎ณ๎€ƒ๎ฒ๎จ๎๎ŽŽ๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ค๎ณ๎น๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Žˆ๎“๎€ƒ๎Žฉ๎ŽŽ๎จ๎Œ๎Ÿ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎Žญ๎Žฌ๎Œ๎Ÿ๎€ƒ๎ฆ๎ด๎Ž—๎Žฉ๎ŽŽ๎ฌ๎Žธ๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎Ž๎Žด๎Žค๎Ž‘๎€ƒ๎Žฎ๎“๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ช๎ง๎Ž‡ ๎€ƒ๎€๎๎ŽŽ๎˜๎ด๎“ ๎€ƒ๎€‘๎Žญ๎ŽŽ๎”๎œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎ ๎ฃ๎ŽŽ๎Œ๎ฃ๎€ƒ๎ž๎ฃ๎ŽŽ๎Œ๎ณ ๎€ƒ๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎ˆ๎Ÿ๎ŽŽ๎“๎€ƒ๎ช๎จ๎œ๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž“๎Žฎ๎Žง๎ต๎Ž ๎€ƒ๎Žญ๎Ž๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎‘๎ฎ๎Žจ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎€๎ŽŽ๎ฌ๎จ๎ฃ๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž๎ŽŽ๎Ž’๎Žณ๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎€ƒ๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎ˆ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Žฉ๎ŽŽ๎ด๎˜๎ง๎ป๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Š๎จ๎ค๎ณ๎€ƒ๎ฑ๎Žฌ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žญ๎Žฌ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎ญ ๎€‘๎ŽŽ๎ด๎ง๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ก๎ŽŽ๎œ๎Žฃ๎Žƒ๎€ƒ๎ž๎ค๎Ž˜๎Žค๎‹ฐ๎ณ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎ฏ๎Žซ๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎ณ๎Žซ๎Ž†๎ณ๎€ƒ๎ญ๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎ ๎Ž˜๎˜๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎ฉ๎Žฉ๎ŽŽ๎ด๎˜๎ง๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ฃ๎ผ๎Žณ๎Ž‡๎€ƒ๎Žฎ๎ฌ๎…๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎Ž‡๎€ƒ๎‘๎ŽŽ๎Žง๎€ƒ๎ฅ๎Ž„๎Ž‘๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎ŽŽ๎…๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ช๎ซ๎Žฎ๎›๎Žƒ๎€ƒ๎ฎ๎Ÿ๎€ƒ๎ž๎Ž‘ ๎€‘๎ช๎ฃ๎ผ๎Žณ๎Ž‡๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎”๎Žง๎Ž‡๎€ƒ๎Žฏ๎ฎ๎Ž ๎‹ฐ๎ณ๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ฌ๎“๎€ƒ๎€‘๎ช๎Ž‘๎Žญ๎ŽŽ๎—๎Žƒ๎€ƒ๎ญ๎Žƒ๎€ƒ๎ฉ๎Žฉ๎ป๎ญ๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž๎Žช๎Žฃ๎Žƒ๎€ƒ๎ฑ๎Žซ๎Ž†๎ณ๎€ƒ๎ญ๎Žƒ๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎ŽŽ๎Œ๎Ž—๎ญ๎€ƒ๎ช๎ง๎ŽŽ๎Žค๎Ž’๎Žณ๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎Žท๎Žƒ๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ช๎Ž‘๎€ƒ๎†๎”๎ ๎Ž˜๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎€ƒ๎Žฏ๎ฎ๎Ž ๎ณ๎€ƒ๎ช๎ง๎Žˆ๎“๎€ƒ๎Žฎ๎”๎œ๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎†๎”๎ ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎ŽŽ๎ˆ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žฎ๎”๎œ๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎Žก๎Žฎ๎Žท๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฆ๎œ๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ค๎ณ๎น๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎ฆ๎ŽŒ๎ค๎„๎ฃ๎€ƒ๎ช๎Ž’๎ ๎—๎ญ๎€ƒ๎ฉ๎Žฎ๎›๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ป๎Ž‡๎€Œ๎€Œ๎€ƒ๎€๎ช๎Ÿ๎ฎ๎˜๎Ž‘๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ซ๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎Ž‡๎€‘๎€‹๎€‹๎ข๎ด๎ˆ๎‹๎€ƒ๎Ž๎Ž๎Žฌ๎‹๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž๎€๎๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ด๎ ๎Œ๎“๎€ƒ๎Ž๎Žญ๎Žช๎Žป๎€ƒ๎‹ฌ๎ช๎ด๎Žง๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎Ž‘๎Ž๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ŽŽ๎“๎ฎ๎Žง๎€ƒ๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎ˆ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Žฉ๎ŽŽ๎ด๎˜๎ง๎ป๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎‰๎ŽŽ๎จ๎Ž˜๎ฃ๎Ž๎€ƒ๎ž๎ด๎Ž’๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ซ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎ญ๎€ƒ๎ช๎จ๎‹๎€ƒ๎Š๎“๎Žช๎ณ๎ญ๎€ƒ๎ฉ๎Žฎ๎Žผ๎จ๎ณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ค๎Žค๎‹ฐ๎ณ๎€ƒ๎ช๎ง๎Žˆ๎“๎€ƒ๎€‘๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎Žช๎ค๎Žค๎‹ฐ๎ฃ๎€ƒ๎ŽŽ๎ง๎Žช๎ด๎Žณ๎€ƒ๎ฎ๎ซ๎ญ๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎‹ฏ๎Ž๎Žฌ๎ณ๎Ž‡๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎Œ๎จ๎Ž˜๎ค๎ณ๎€ƒ๎Žถ๎ณ๎Žฎ๎—๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎”๎›๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ช๎Ž‘๎Žญ๎€ƒ๎Ž”๎Ÿ๎ŽŽ๎Žณ๎Žญ๎€ƒ๎Ž๎ ๎Ž’๎ด๎Ÿ๎€ƒ๎ฏ๎Žซ๎Žƒ๎€ƒ๎ž๎›๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎Žช๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎Žถ๎ณ๎Žฎ๎—๎€ƒ๎Ž”๎Žณ๎ŽŽ๎ณ๎Žญ๎€ƒ๎Ž–๎ง๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ช๎Ž˜๎ณ๎ŽŽ๎ค๎Žค๎‹ฐ๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎ท๎€ƒ๎Ž”๎ณ๎ŽŽ๎‹๎Žญ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ŽŽ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎Ž„๎Ž‘๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ค๎ ๎Œ๎Ÿ๎€ƒ๎Ž”๎Ÿ๎ฎ๎Ž’๎˜๎ฃ๎€ƒ๎ข๎ซ๎Žช๎จ๎‹๎€ƒ๎ช๎Ž˜๎ณ๎ŽŽ๎ค๎Žฃ๎ญ๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎“๎ŽŽ๎ง๎€ƒ๎ฉ๎Žฎ๎ฃ๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎œ๎“๎€ƒ๎€‘๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎ท๎€ƒ๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Š๎Ž’๎Ž—๎ญ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎Ž๎ฎ๎ค๎ ๎‹๎€ƒ๎ฎ๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ข๎ฌ๎จ๎ณ๎Žฉ๎ญ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Ž˜๎ ๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ช๎Œ๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎ ๎Œ๎”๎ณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎ง๎ญ๎Žซ๎Ž†๎ณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎ง๎ฎ๎ ๎Ž—๎ŽŽ๎˜๎ณ๎€ƒ๎Ž๎ฎ๎ง๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ž๎Ž‘๎€ƒ๎‹ฌ๎ฉ๎Žฎ๎Žผ๎ง๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ž˜๎ณ๎ŽŽ๎ค๎Žฃ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎ ๎Ž’๎˜๎ณ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ง๎Žˆ๎“๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ซ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎š๎Žท๎€ƒ๎ป๎ญ ๎€‘๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎จ๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎ช๎ง๎ฎ๎ ๎Œ๎”๎ณ๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎‹ฐ๎ฃ๎€ƒ๎Žฎ๎Žœ๎›๎Žƒ๎€ƒ๎ฏ๎Žซ๎ท๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎จ๎ ๎Ÿ๎€ƒ๎‰๎ŽŽ๎Ž’๎Ž—๎ป๎Ž๎ญ๎€ƒ๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎ˆ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žฉ๎ŽŽ๎ด๎˜๎ง๎ป๎Ž๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎ฌ๎…๎Ž‡๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Š๎ง๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎ท๎€ƒ๎ฑ๎ฎ๎—๎€ƒ๎Žญ๎Žฌ๎‹๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎Š๎“๎Žช๎ณ๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎ง๎Ž‡๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Ž˜๎ ๎ฃ๎ญ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎จ๎ณ๎Žฉ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Ÿ๎€ƒ๎Žฎ๎ฌ๎ˆ๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ฌ๎ ๎“๎€ƒ๎€‘๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฅ๎ญ๎Žช๎˜๎Ž˜๎Œ๎ณ๎€ƒ๎Ž๎ฎ๎ง๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ช๎จ๎ด๎Ž‘๎ญ๎€ƒ๎ช๎จ๎ด๎Ž‘๎€ƒ๎ฒ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎Ž‘๎Ž๎Žฎ๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎ŽŸ๎ท๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž–๎ง๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ฒ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎ด๎ค๎Žค๎ ๎Ÿ ๎€ƒ๎ž๎Ž‘๎€ƒ๎‹ฌ๎ฆ๎ณ๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎‰๎ŽŽ๎Ž’๎Ž—๎ผ๎Ÿ ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎Ž”๎ด๎ค๎Žค๎ ๎Ÿ๎€ƒ๎ฉ๎Žฎ๎Žผ๎จ๎ณ๎ญ ๎€ƒ๎ช๎ด๎ค๎Žค๎ณ ๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎ง๎Ž‡๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ช๎˜๎ณ๎Žช๎Žผ๎Ž˜๎Ž‘๎€ƒ๎Ž๎‹ฏ๎ฎ๎ ๎ค๎ฃ๎€ƒ๎ช๎Ž’๎ ๎—๎€ƒ๎ฆ๎๎ŽŽ๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Ž๎Žฎ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ด๎Ž‘๎€ƒ๎Ž“๎Žญ๎ฎ๎ฌ๎Žธ๎ฃ๎€‘๎Ž•๎Ž๎Žฐ๎Ž ๎Œ๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฉ๎Žช๎ซ๎ŽŽ๎Žท๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎‹ฐ๎Ÿ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญArtinya โ€œMuแธฅammad ibn Rasลซl al-Barzanjฤซ pertama-tama menetapkan bahwa Abลซ แนฌฤlib telah mencapai tingkat keimanan berdasarkan berbagai argumentasi dan bukti. Al-Barzanjฤซ kemudian menetapkan tentang keselamatan yang diperoleh Abลซ แนฌฤlib. Dia menyampaikan hal itu dengan pendapat-pendapat paling kuat menurut para ulama yang benar. Adapun penetapan tentang keimanan tersebut pertama kali tergantung kepada pemahaman mengenai definisi iman. Menurut hukum syariah, iman adalah pembenaran sepenuh hati terhadap keesaan Allah Swt dan kerasulan Nabi Muแธฅammad saw, serta segala seuatu yang dibawa oleh Nabi Muแธฅammad dari sisi Allah Swt. Adapun makna Islam menurut hukum syariah adalah ketundukan Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201758 Ahmad Choirul Rofiqketaatan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang secara lahiriah sesuai dengan ketentuan syariah. Hal ini ditunjukkan oleh hadis Nabi Muแธฅammad saw โ€œIslam adalah perbuatan-perbuatan lahiriah, sedangkan iman adalah keyakinan di dalam hatiโ€. Perbuatan lahiriah dan keyakinan hati tersebut dapat terhimpun bersamaan, yakni hatinya membenarkan sepenuh hati dan kemudian menyatakan pernyataan dua kalimat syahadat. Pernyataan keislaman yang terpisah dari keimanan dilakukan oleh orang munafik yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan lahiriah sesuai hukum Islam, namun hatinya mendustakannya dan tidak membenarkannya. Sedangkan keimanan yang terpisah dari pernyataan keislaman dilakukan oleh orang yang hatinya membenarkan keyakinannya, namun dia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat disebabkan penentangannya terang-terangan serta tidak mau taat dalam menjalankan perbuatan-perbuatan lahiriah yang sesuai dengan hukum syariah. Keadaan demikian dijumpai pada kebanyakan pemuka-pemuka agama Yahudi yang mengetahui bahwa Nabi Muแธฅammad saw adalah Rasulullah yang benar, namun mereka tidak menyatakannya dengan dua kalimat syahadat, tidak mengikuti Nabi Muแธฅammad saw, serta menaati semua tuntunan yang dibawa oleh Nabi Muแธฅammad saw. Allah Swt telah berfirman mengenai mereka dengan firman-Nya โ€œMereka mengenalnya Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.โ€ [QS. Al-Anโ€™ฤm, 6 20] Mereka tidak pernah menyatakan pengakuannya mengenai kerasulan Nabi Muแธฅammad saw karena mereka menentang Allah. Mereka sebenarnya di dalam hatinya meyakini kebenaran dakwah Nabi Muแธฅammad dan beriman terhadap kenabian Nabi Muแธฅammad saw secara batiniah, tapi mereka secara lahiriah mendustakannya dengan kesengajaan sehingga keimanannya di dalam hati tersebut tidak bermanfaat bagi mereka disebabkan pendustaan mereka secara lahiriah yang dengan sengaja melanggar perintah Allah Swt. Adapun apabila sikap tidak yang mengamalkan syariat secara lahiriah dan tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat disebabkan adanya suatu halangan udzur, dan bukan disebabkan penentangan terhadap syariat, maka keimanannya Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 59 yang secara batiniah tersebut dalam pandangan Allah Swt dapat bermanfaat bagi orang tersebut di dunia maupun di akhirat, meskipun secara lahiriah orang tersebut diperlakukan sebagai orang-orang kafir. Oleh sebab itu, dia dinilai sebagai orang kafir menurut ketentuan hukum-hukumnya yang berlaku di dunia. Udzur yang menghalangi seseorang dalam ketaatannya kepada hukum-hukum Allas Swt secara lahiriah disebabkan oleh beberapa penyebab. Misalnya, ketakutannya kepada orang zalim. Apabila keislaman dan ketaatannya ditampakkan secara lahiriah, maka orang zalim tersebut akan membunuhnya atau menyakitinya dengan tindakan yang tidak mampu ditanggungnya maupun orang zalim itu akan menyakiti salah seorang dari anak-anaknya atau kerabat-kerabatnya. Maka, kondisi semacam inilah yang membolehkan seseorang untuk menyembunyikan keislamannya. Bahkan andaikata orang zalim itu memaksakan pada seseorang untuk menyatakan kekafirannya, maka orang yang dipaksa itu diperbolehkan untuk mengatakannya. Allah Swt telah menjelaskan hal itu dalam firman-Nya โ€œKecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman dia tidak berdosa. Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah Swt menimpanya dan baginya azab yang besar.โ€ QS. Al-Naแธฅl [16] 106Berdasarkan argumentasi ini, maka sikap Abลซ แนฌฤlib yang tidak menunjukkan keislamannya secara lahiriah adalah dikarenakan kekhawatirannya terhadap keselamatan keponakannya, Nabi Muแธฅammad saw. Abลซ แนฌฤlib melindungi Nabi Muแธฅammad saw, menolongnya, dan membentenginya dari segala sesuatu yang membahayakannya agar Nabi Muแธฅammad dapat menyampaikan risalah Tuhannya. Orang-orang kafir Quraisy tidak dapat menyakiti Nabi Muแธฅammad saw berkat penjagaan dan perlindungan Abลซ แนฌฤlib sebab Abลซ แนฌฤlib adalah pemegang kepemimpinan masyarakat Quraisy setelah Abd al-Muแนญแนญalib sehingga perintah Abลซ แนฌฤlib terlaksana dan perlindungannya efektif karena mereka mengetahui menduga bahwa Abลซ แนฌฤlib masih mengikuti keyakinan dan agama mereka. Andaikata mereka mengetahui bahwa Abลซ แนฌฤlib telah menyatakan masuk agama Islam dan mengikuti Nabi Muแธฅammad saw, maka mereka tidak menerima perlindungan dan pertolongan Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201760 Ahmad Choirul RofiqAbลซ แนฌฤlib kepada Nabi Muแธฅammad saw, bahkan mereka akan membunuh Abลซ แนฌฤlib, menyakitinya, dan melakukan tindakan-tindakan yang lebih keji daripada tindakan yang mereka lakukan kepada Nabi Muแธฅammad saw. Tidak diragukan lagi, bahwa udzur inilah yang sangat kuat dalam menghalangi Abลซ แนฌฤlib untuk menyatakan keislamannya secara lahiriah maupun untuk mengikuti Nabi Muแธฅammad saw. Oleh karena itu, Abลซ แนฌฤlib memperlihatkann di hadapan masyarakat kafir Quraisy bahwa Abลซ แนฌฤlib masih mengikuti agama dan keyakinan mereka. Mereka mempercayai bahwa Abลซ แนฌฤlib melindungi Nabi Muแธฅammad saw semata-mata karena hubungan kekerabatan antara Nabi Muแธฅammad dan Abลซ แนฌฤlib. Mereka juga meyakini bahwa Abลซ แนฌฤlib melidungi dan menolong Nabi Muแธฅammad hanya sebatas upaya perlindungan, dan bukan dikarenakan mengikuti agama Nabi Muแธฅammad, sedangkan perlindungan semacam itu merupakan hal biasa terjadi di kalangan orang-orang Arab. Padahal Abลซ แนฌฤlib sesungguhnya hatinya secara batiniah dipenuhi keimanan dan sangat membenarkan kenabian Nabi Muแธฅammad saw sebab Abลซ แนฌฤlib telah menyaksikan langsung berbagai kemukjizatan Nabi Muแธฅammad saw.โ€232. Abลซ แนฌฤlib mendapatkan syafaโ€™at yang dijanjikan oleh Nabi Muแธฅammad saw. Dengan mengutip pendapat al-Barzanjฤซ, selanjutnya Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn menjelaskan bahwa Abลซ แนฌฤlib termasuk orang yang mendapatkan syafaโ€™at Rasulullah saw sehingga Abลซ แนฌฤlib juga mendapatkan keselamatan dari Allah Swt. Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn menjelaskannya sebagai berikut.๎€ƒ๎ฉ๎Žช๎จ๎‹๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎Ÿ๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎Ž“๎ŽŽ๎Ž ๎ง๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎›๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฉ๎ŽŽ๎ง๎Žฎ๎Ž˜๎Žง๎Ž๎€ƒ๎ฑ๎Žฌ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ซ๎ญ๎€ƒ๎€๎ฒ๎Ž ๎ง๎Žฏ๎Žฎ๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎ข๎Ž›๎€ƒ๎ŽŽ๎จ๎Ž˜๎ค๎Ž‹๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ ๎€ƒ๎ฆ๎ด๎ค๎ ๎œ๎Ž˜๎ค๎Ÿ๎Ž ๎€ƒ๎–๎ณ๎Žฎ๎ ๎€ƒ๎ฎ๎ซ ๎€ƒ๎Ž“๎Žฎ๎Žง๎ต๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“ ๎€ƒ๎Ž“๎ŽŽ๎Ž ๎จ๎Ÿ๎Ž ๎€ƒ๎ฒ๎“ ๎€ƒ๎ฒ๎“๎ŽŽ๎œ๎Ÿ๎Ž ๎€ƒ๎–๎ณ๎Žช๎Žผ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎ ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Ž“๎Žฎ๎ด๎Žœ๎›๎€ƒ๎Ž”๎‹๎ŽŽ๎”๎Žธ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žš๎ณ๎Žฉ๎ŽŽ๎Žฃ๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎Ž”๎‹๎ŽŽ๎”๎Žธ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žš๎ณ๎Žฉ๎ŽŽ๎Žฃ๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎Ž–๎Ÿ๎Žฉ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎ฎ๎ซ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Ž“๎Žฎ๎‹๎ŽŽ๎Žท๎ท๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎Ž—๎Ž„๎ด๎Žณ๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎›๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ŽŽ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎Ž”๎‹๎ŽŽ๎”๎Žธ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž–๎Ÿ๎ŽŽ๎ง๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ŽŽ๎›๎Žฎ๎Žธ๎ฃ๎€ƒ๎๎ŽŽ๎จ๎Ž—๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎ง๎Ž„๎Ž‘๎€ƒ๎Žข๎ณ๎Žฎ๎Žผ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎ด๎“๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎Ž‘๎€ƒ๎š๎Žด๎ค๎Ž—๎€ƒ๎ฒ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎Ž‹๎ป๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎Ž ๎ง๎Žฏ๎Žฎ๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žฎ๎›๎Žซ๎€ƒ๎ข๎Ž› ๎€‘๎ช๎›๎Ž๎Žฎ๎Žท๎Ž‡๎€ƒ๎ก๎Žช๎‹๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žซ๎€ƒ๎๎Žช๎“๎€ƒ๎ช๎ง๎ŽŽ๎ด๎Ž‘๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎Ž”๎Ÿ๎Ž๎Žฉ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎ ๎Œ๎ŽŸ๎ญ๎€ƒ๎Ž“๎ŽŽ๎Ž ๎จ๎Ÿ๎Ž ๎€ƒ๎ก๎Žช๎‹๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎Ž‘ ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Ÿ๎ป๎Žช๎Ž˜๎Žณ๎Ž ๎€ƒ๎Ž๎ ๎—๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ž—๎ŽŽ๎Ž ๎ง๎€ƒ๎ก๎Žช๎Œ๎Ž‘ ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎ ๎Ž‹๎ŽŽ๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎Žฟ๎Žญ๎€ƒ๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎ฆ๎Ž‘๎€ƒ๎Žฑ๎ŽŽ๎Ž’๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎ข๎ ๎Žด๎ฃ๎ญ๎€ƒ๎ฑ๎Žญ๎ŽŽ๎Žจ๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฉ๎Ž๎ญ๎Žญ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žซ๎€ƒ๎ฆ๎ค๎“๎€ƒ๎€‘๎Ž“๎ŽŽ๎Ž ๎จ๎Ÿ๎Ž23Daแธฅlฤn, Asnฤ al-Maแนญฤlib, 32-35. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 61 ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎๎ฎ๎Žณ๎Žฎ๎Ÿ๎€ƒ๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ข๎‹๎€ƒ๎ช๎จ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎‹ฌ๎š๎Ÿ๎€ƒ๎Ž๎€๎๎ณ๎ญ๎€ƒ๎™๎Žฎ๎Žผ๎จ๎ณ๎ญ๎€ƒ๎š๎ˆ๎”๎Žค๎ณ๎€ƒ๎ฑ๎Žƒ๎€ƒ๎‹ฌ๎š๎๎ฎ๎Žค๎‹ฐ๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ŽŽ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎Ž‡๎€ƒ๎€๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€‘๎ŽŽ๎ฌ๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ŽŽ๎“๎Žฎ๎Žธ๎ฃ๎€ƒ๎ฑ๎Žƒ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž•๎Ž๎Žฎ๎ค๎๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ช๎Ž—๎Žช๎ŽŸ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ข๎Œ๎ง๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎‹ฌ๎š๎Ÿ๎Žซ๎€ƒ๎ช๎Œ๎”๎จ๎ณ๎€ƒ๎ž๎ฌ๎“๎€ƒ๎ŽŽ๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎ฎ๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎Žก๎ŽŽ๎€๎Žค๎Žฟ๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎Ž‡๎€ƒ๎ช๎Ž˜๎ŽŸ๎Žฎ๎Žง๎Ž„๎“๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž•๎Ž๎Žฎ๎ค๎๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎Ž”๎ณ๎Ž๎ญ๎Žญ๎€ƒ๎ฒ๎“๎ญ๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎‹ฌ๎ŽŽ๎€๎ณ๎Žƒ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žด๎ฃ๎ญ๎€ƒ๎ฑ๎Žญ๎ŽŽ๎Žจ๎Ž’๎ ๎Ÿ๎€ƒ๎Ž”๎ณ๎Ž๎ญ๎Žญ๎€ƒ๎ฒ๎“๎ญ ๎€‘๎Žญ๎ŽŽ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ž๎”๎Žณ๎ท๎Ž๎€ƒ๎™๎Žญ๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎œ๎Ÿ๎€ƒ๎ฎ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎ค๎‹๎€ƒ๎ฉ๎Žช๎จ๎‹๎€ƒ๎Žฎ๎›๎Žซ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎จ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฒ๎Žฟ๎Žญ๎€ƒ๎ฑ๎Žญ๎Žช๎Žจ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎ด๎Œ๎Žณ๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎ง๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Žก๎ŽŽ๎€๎Žค๎Žฟ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ž๎Œ๎Ž ๎ด๎“๎€ƒ๎Ž”๎ฃ๎ŽŽ๎ด๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ก๎ฎ๎ณ๎€ƒ๎ฒ๎Ž˜๎‹๎ŽŽ๎”๎Žท๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎ŽŽ๎จ๎Ž—๎€ƒ๎ช๎ ๎Œ๎Ÿ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎๎ŽŽ๎˜๎“๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ช๎จ๎‹๎€ƒ๎ฉ๎Žฎ๎ด๎๎ญ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žด๎ฃ๎€ƒ๎ฏ๎ญ๎Žญ๎ญ ๎‚ณ๎€‘๎ช๎๎ŽŽ๎ฃ๎Žฉ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎จ๎ฃ๎€ƒ๎ฒ๎ ๎๎ณ๎€ƒ๎ช๎ด๎Ž’๎Œ๎›๎€ƒ๎Ž๎ ๎Ž’๎ณ๎€ƒ๎ฉ๎Žฌ๎ซ๎€ƒ๎ฅ๎Ž‡๎€ƒ๎€๎ช๎Ž—๎ŽŽ๎Ž ๎ง๎€ƒ๎ก๎Žช๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎ ๎Ž‹๎ŽŽ๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎๎ŽŽ๎— ๎€‘๎‚ด๎€ƒ๎ŽŽ๎Ž‘๎Ž๎Žฌ๎‹๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎ซ๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎ซ๎Žƒ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ŽŽ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ž—๎ŽŽ๎Ž ๎จ๎Ž‘๎€ƒ๎๎ฎ๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎œ๎ค๎ณ๎€ƒ๎ผ๎“๎€ƒ๎€‘๎Žญ๎ŽŽ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎ญ๎€ƒ๎ฉ๎Žฎ๎”๎›๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎Ž”๎Ÿ๎Ž๎Žฉ๎€ƒ๎Ž”๎Žค๎ด๎Žค๎Žผ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žš๎ณ๎Žฉ๎ŽŽ๎Žฃ๎ท๎Ž๎€ƒ๎Žญ๎Ž๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฆ๎ด๎Ž‘๎ญ๎€ƒ๎ช๎จ๎ด๎Ž‘๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎ด๎“๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎ŽŽ๎Žค๎Ž‘๎€ƒ๎Žฎ๎Ž’๎Žง๎Žƒ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎ท๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž“๎Žฎ๎Žผ๎ง๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ช๎จ๎ฃ๎€ƒ๎Žญ๎Žช๎Žป๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ช๎Ž’๎ ๎˜๎Ž‘๎€ƒ๎ŽŽ๎—๎Žช๎Žผ๎ฃ๎€ƒ๎ฆ๎œ๎ณ๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎๎Žช๎“๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž“๎Žฎ๎Žง๎ต๎Ž๎€ƒ๎๎ŽŽ๎Ž˜๎๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž”๎”๎ง๎ท๎Ž๎ญ๎€ƒ๎Ž๎Žฎ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎ด๎ค๎Žฃ๎€ƒ๎Ž๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎ง๎Žˆ๎“๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€‘๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žฌ๎Ž‘๎€ƒ๎ช๎”๎ ๎›๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ช๎ณ๎Žช๎ณ๎€ƒ๎ฆ๎ด๎Ž‘๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ช๎จ๎Ž‘๎Ž๎€ƒ๎€‘๎ช๎Ž—๎ŽŽ๎Ž ๎ง๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎๎Žช๎Ž—๎€ƒ๎Ž•๎Žฎ๎›๎Žซ๎€ƒ๎ฒ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žš๎ณ๎Žฉ๎ŽŽ๎Žฃ๎ท๎Ž ๎€ƒ๎Žฒ๎”๎ง ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎Ž๎Ž๎ฎ๎Ž ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎€๎ฒ๎Ž ๎ง๎Žฏ๎Žฎ๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎ข๎Ž›๎€ƒ๎‹ฌ๎€‹๎€‹๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎Ž‘๎Ž๎Žฌ๎‹๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎จ๎‹๎€ƒ๎’๎”๎Žจ๎ณ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ง๎Ž„๎Ž‘๎€ƒ๎€Œ๎€Œ๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎”๎œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎Žฎ๎Ž’๎Žง๎Žƒ๎€ƒ๎Žช๎—๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎ŽŽ๎Œ๎Ž—๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฅ๎ท๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žซ๎ญ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Œ๎”๎จ๎Ž—๎€ƒ๎€Œ๎€Œ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ง๎Ž„๎Ž‘๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ฆ๎ด๎ŽŸ๎Žฎ๎Žจ๎ค๎Ž‘๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎จ๎ฃ๎€ƒ๎ข๎ซ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ง๎Ž„๎Ž‘๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎€‹๎€‹๎€ƒ๎ข๎ฌ๎จ๎‹๎€ƒ๎Žฎ๎Ž˜๎”๎ณ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎€Œ๎€Œ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ง๎Ž„๎Ž‘๎ญ๎€ƒ๎ข๎ด๎Žค๎Ž ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎€๎Žข๎ด๎Žค๎Žผ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žฎ๎Ž›๎ท๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Ž–๎Ž’๎Ž›๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ ๎€‘๎š๎Ÿ๎Žซ๎€ƒ๎Žฎ๎ด๎๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎Ž‡๎€ƒ๎‹ฌ๎€‹๎€‹๎€ƒ๎ฆ๎ด๎Œ๎“๎ŽŽ๎Žธ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎‹๎ŽŽ๎”๎Žท๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎Žƒ๎€ƒ๎ฒ๎ซ๎ญ ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎จ๎ฃ ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎ŽŸ๎Žฎ๎Žจ๎ณ๎€ƒ๎ข๎Ž› ๎€ƒ๎ฆ๎ด๎จ๎ฃ๎Ž†๎ค๎Ÿ๎Ž ๎€ƒ๎Ž“๎ŽŽ๎Žผ๎‹๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎ด๎“ ๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎Œ๎ณ ๎€ƒ๎ฒ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎˜๎Ž’๎„๎Ÿ๎Ž ๎€ƒ๎ฒ๎ซ๎€ƒ๎Žข๎Žป๎€ƒ๎Žš๎ด๎Žฃ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Žญ๎ŽŽ๎”๎œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎Ž๎Žฌ๎‹๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎’๎Žง๎Žƒ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Ž‘๎Ž๎Žฌ๎‹๎€ƒ๎ฆ๎ด๎จ๎ฃ๎Ž†๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž“๎ŽŽ๎Žผ๎‹๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Žญ๎ŽŽ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž•๎ŽŽ๎˜๎Ž’๎๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎Ž˜๎Žฃ๎€ƒ๎ŽŽ๎Ž‘๎Ž๎Žฌ๎‹๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎ซ๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎œ๎ด๎“๎€ƒ๎‹ฌ๎•๎ผ๎๎น๎Ž๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ŽŽ๎Ž‘๎Ž๎Žฌ๎‹๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎ซ๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎ซ๎Žƒ๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ŽŽ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎ฎ๎—๎€ƒ๎•๎Žช๎Žป๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎‹ฐ๎Ÿ๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žฌ๎Ž‘๎€ƒ๎ž๎˜๎ง๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎€ƒ๎ฎ๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ฆ๎ด๎จ๎ฃ๎Ž†๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž“๎ŽŽ๎Žผ๎‹๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎จ๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎ŽŸ๎Žฎ๎Žจ๎ณ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ง๎Ž„๎Ž‘๎€ƒ๎Žš๎ณ๎Žฉ๎ŽŽ๎Žฃ๎ท๎Ž ๎€ƒ๎Ž–๎Žค๎Žป๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ ๎€‘๎‚ด๎€ƒ๎ŽŽ๎Ž‘๎Ž๎Žฌ๎‹๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎จ๎Ÿ๎Ž ๎€ƒ๎ž๎ซ๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎ซ๎Žƒ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎ช๎ง๎Ž‡๎€ƒ๎๎Žฉ๎Žฎ๎Žง๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž”๎Ž’๎Žฃ๎€ƒ๎๎ŽŽ๎˜๎Žœ๎ฃ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎ง๎Žฉ๎Žƒ๎€ƒ๎ฐ๎ง๎Žฉ๎Žƒ๎€ƒ๎ฐ๎ง๎Žฉ๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎Ž’๎ ๎—๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎ด๎“๎€ƒ๎ฐ๎˜๎Ž’๎ณ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎Žš๎ด๎Žค๎Ž‘๎€ƒ๎Ž”๎ฃ๎ท๎Ž๎€ƒ๎ฉ๎Žฌ๎ซ๎€ƒ๎Ž“๎ŽŽ๎Žผ๎‹๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎จ๎ฃ๎€ƒ๎Ž๎Žฎ๎Žจ๎‹ฐ๎ณ๎€ƒ๎ŽŽ๎ซ๎Žช๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎Ž”๎˜๎Ž’๎„๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฉ๎Žฌ๎ซ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎ŽŽ๎€๎ณ๎Žƒ๎€ƒ๎Žข๎Žป๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ฅ๎ŽŽ๎ค๎ณ๎Ž‡๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž–๎Ž’๎จ๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎Žฏ๎ฎ๎Ž ๎‹ฐ๎ณ๎€ƒ๎ป๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Žฎ๎ด๎ŽŸ๎Žฎ๎Ž ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎ด๎“๎€ƒ๎Ž–๎Ž’๎จ๎ณ๎ญ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎Ž‘๎Ž๎ฎ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎Žข๎ณ๎Žฎ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎–๎”๎Žผ๎Ž—๎ญ๎€ƒ๎ŽŽ๎ซ๎Žญ๎ŽŽ๎ง๎€ƒ๎ฒ๎”๎„๎จ๎Ž—๎€ƒ๎ฉ๎Žฌ๎ฌ๎Ž‘๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ฎ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎จ๎ฃ๎€ƒ๎Ž๎Žฎ๎Žจ๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎Ž๎ŽŸ๎ฎ๎“๎€ƒ๎‹ฌ๎ก๎Žช๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž–๎Žค๎Ž—๎€ƒ๎Žฒ๎ค๎Ž—๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎ง๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎ด๎“๎ญ๎€ƒ๎Žฎ๎ด๎ŽŸ๎Žฎ๎Ž ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎ด๎“๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎Žข๎ด๎Žค๎Žผ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Žฉ๎Žญ๎ญ๎€ƒ๎€๎๎ฎ๎˜๎ง๎ญ ๎€‘๎Ž”๎Žค๎ด๎Žค๎Žป๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎ ๎›๎ญ๎€ƒ๎Ž”๎Ÿ๎Žฉ๎ท๎Ž๎€ƒ๎ก๎ผ๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎€‘๎‚ด๎€ƒ๎ŽŽ๎ŽŒ๎ด๎Žท๎€ƒ๎ฟ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎™๎Žฎ๎Žธ๎ณ๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎€ƒ๎ฆ๎ค๎Ÿ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎†๎”๎Ÿ๎€ƒ๎ฒ๎“๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎‚ณ๎Žฎ๎Ž‹๎ŽŽ๎Ž’๎œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎ซ๎ท๎€ƒ๎ฒ๎Ž˜๎‹๎ŽŽ๎”๎Žท๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎Žš๎ด๎Žฃ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎Žฎ๎Ž‹๎ŽŽ๎Ž’๎œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎ซ๎Ž„๎Ž‘๎€ƒ๎Ž”๎Žผ๎Ž˜๎Žจ๎ฃ๎€ƒ๎ฒ๎Ž˜๎‹๎ŽŽ๎”๎Žท๎€ƒ๎€๎ฉ๎ŽŽ๎จ๎Œ๎ฃ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ฟ๎€ƒ๎Žช๎ค๎Žค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎€๎ž๎Žœ๎ฃ๎€ƒ๎‹ฌ๎Žน๎ŽŽ๎Žผ๎Ž˜๎Žง๎ผ๎Ÿ๎€ƒ๎ฒ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎‹๎ŽŽ๎”๎Žธ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎€๎ฒ๎จ๎Œ๎ณ๎€ƒ๎‹ฌ๎™๎Žฎ๎Žธ๎ค๎‹ฐ๎Ÿ๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎œ๎Ž—๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎ฒ๎ฌ๎“๎€ƒ๎Žฎ๎Ž‹๎ŽŽ๎Ž’๎œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎ซ๎Ž„๎Ž‘๎€ƒ๎Ž”๎Žผ๎Ž˜๎Žจ๎ฃ๎€ƒ๎Ž–๎ง๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎€‘๎Žฎ๎Ž‹๎ŽŽ๎Ž’๎œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎ŽŽ๎จ๎Ž˜๎ŽŸ๎Ž๎€ƒ๎ŽŽ๎ซ๎Žฎ๎”๎œ๎ณ๎€ƒ๎Žฎ๎Ž‹๎ŽŽ๎๎Žผ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Žˆ๎“๎€ƒ๎€‘๎Žฎ๎Ž‹๎ŽŽ๎Ž’๎œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎ซ๎Ž„๎Ž‘ ๎€ƒ๎Žบ๎Ž˜๎Žจ๎Ž—๎€ƒ๎Ž๎ฎ๎ง๎Žฌ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Ž๎Žฎ๎”๎๎Ÿ๎€ƒ๎Ž๎Žฎ๎Žง๎Žƒ๎ญ ๎€ƒ๎€‘๎€‹๎€‹๎€ƒ๎ช๎Ž‘๎€ƒ๎™๎Žฎ๎Žธ๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎Žฎ๎”๎๎ณ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎€Œ๎€Œ๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฅ๎ท๎€ƒ๎ฆ๎ด๎Œ๎“๎ŽŽ๎Žธ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎‹๎ŽŽ๎”๎Žท๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Œ๎”๎จ๎Ž—๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎”๎œ๎Ÿ๎Ž๎ญ Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201762 Ahmad Choirul Rofiq๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎๎ฎ๎Žณ๎Žญ๎€ƒ๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎€๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎Žฎ๎ค๎‹๎€ƒ๎ฆ๎Ž‘๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎ฉ๎Žช๎Ž‹๎Ž๎ฎ๎“๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฑ๎Žฏ๎Ž๎Žฎ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ก๎ŽŽ๎ค๎Ž—๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ฒ๎Ÿ๎€ƒ๎Žฅ๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ฒ๎ค๎‹๎ญ๎€ƒ๎ฒ๎ฃ๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎ท๎€ƒ๎Ž–๎‹ฐ๎Œ๎”๎‹ฐ๎Žท๎€ƒ๎Ž”๎ฃ๎ŽŽ๎ด๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ก๎ฎ๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎Ž๎Žซ๎Ž‡๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ฑ๎ญ๎Žซ๎€ƒ๎Ž๎—๎ŽŽ๎จ๎ฃ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฐ๎Ž’๎˜๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žฎ๎Ž‹๎ŽŽ๎Žง๎Žซ๎€ƒ๎ช๎Ž‘๎ŽŽ๎Ž˜๎›๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฑ๎Žฎ๎Ž’๎„๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎Žค๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฉ๎Žฉ๎Žญ๎ญ๎Žƒ๎€ƒ๎€‘๎‚ด๎€ƒ๎Ž”๎ด๎ ๎ซ๎ŽŽ๎Ž ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€‘๎‰๎ŽŽ๎Žฟ๎Žฎ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎Žฅ๎ท๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Ž„๎Ž‘๎€ƒ๎Žก๎Žฎ๎Žป๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ข๎ด๎Œ๎ง๎€ƒ๎ฎ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎ŽŸ๎Žฎ๎Žง๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ฐ๎Ž‘๎Žฎ๎˜๎Ÿ๎ŽArtinya โ€œPendapat yang kami pilih dan menegaskan keselamatan Abลซ แนฌฤlib dikarenakan pembenarannya yang sepenuhnya di akhirat ini merupakan pandangan ahli ilmu kalam dari para imam kami yang bermadzhab Asyโ€™ariah, yakni pandangan yang didasarkan pada hadis-hadis tentang syafaโ€™at. Hadis-hadis mengenai syafaโ€™at Rasulullah saw banyak jumlahnya dan semuanya secara jelas menunjukkan bahwa syafaโ€™at tidak didapatkan oleh orang yang musyrik. Adapun Abลซ แนฌฤlib mendapatkan syafaโ€™at, sebagaimana nanti diuraikan pemaparannya, sehingga hal itu menegaskan bahwa Abลซ แนฌฤlib tidak musyrik. Al-Barzanjฤซ kemudian menyebutkan dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa Abลซ แนฌฤlib tidak selamat. Al-Barzanjฤซ membalikkan pemahaman mereka terhadap dalil-dalil itu dan menjadikannya argumentasi yang menunjukkan keselamatan Abลซ แนฌฤlib. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhฤrฤซ dan Muslim dari al-Abbฤs ibn Abd al-Muแนญแนญalib paman Nabi Muแธฅammad saw bahwa al-Abbฤs berkata kepada Rasulullah saw โ€œSesungguhnya Abลซ แนฌฤlib melindungimu menjagamu, menolongmu, dan membelamu. Apakah perbuatannya itu bermanfaat bagi dirinya?. Nabi Muhammad saw menjawab โ€œBenar, saya melihat beliau mengalami penderitaan di neraka.โ€, yakni Abลซ แนฌฤlib berada di bagian atas neraka. Penjelasan mengenai hadis ini akan dibahas nanti. Dalam hadis lain diterangkan โ€œSaya melihat beliau mengalami penderitaan di neraka, maka saya mengeluarkan beliau ke bagian neraka yang paling atas. Andaikata tidak karena saya, maka beliau berada di neraka yang bagian paling bawah.โ€ Dalam hadis yang juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abลซ Saโ€™ฤซd al-Khuแธrฤซ bahwa di sisi Rasulullah saw disebutkan tentang Abลซ แนฌฤlib, maka Rasulullah saw bersabda โ€œSemoga beliau mendapatkan syafaโ€™atku pada hari kiamat sehingga Allah Swt menjadikan beliau berada di neraka yang bagian teratas yang apinya menyentuh tumit beliau Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 63 dan mendidihkan otaknya.โ€ Muslim meriwayatkan pula bahwa Nabi Muแธฅammad saw bersabda sesungguhnya Abลซ แนฌฤlib adalah orang yang mendapatkan siksaan paling ringan di neraka. Menurut orang-orang yang menyatakan bahwa Abลซ แนฌฤlib tidak mendapatkan keselamatan, sesungguhnya hadis-hadis shahih ini menunjukkan bahwa Abลซ แนฌฤlib termasuk kafir dan berada di neraka sehingga tidak mungkin untuk mengatakan bahwa Abลซ แนฌฤlib mendapatkan keselamatan karena Nabi Muแธฅammad saw menerangkan keadaan Abลซ แนฌฤlib di antara diri Nabi Muแธฅammad saw dan Allah Swt pada hari kiamat. Abลซ แนฌฤlib tidak termasuk orang yang membenarkan kenabian Nabi Muแธฅammad saw di dalam hatinya. Adapun informasi yang memperlihatkan pertolongan Abลซ แนฌฤlib kepada Nabi Muแธฅammad saw hanyalah merupakan pertolongan yang biasa di kalangan bangsa Arab dan menjaga harga diri Abลซ แนฌฤlib dari pembunuhan terhadap Nabi Muแธฅammad saw di hadapan Abลซ แนฌฤlib. Sikap serupa juga telah dilakukan oleh Abd kemudian menjawab bahwa sesungguhnya hadis-hadis tersebut justru menunjukkan kepada keselamatan Abลซ แนฌฤlib. Hal itu karena Allah Swt telah menerangkan tentang keadaan orang-orang kafir dalam firman-Nya โ€œSesungguhnya orang-orang kafir itu tidak diringankan siksaannya.โ€ [QS. Fฤแนญir 36]; โ€œTidak diringankan azab itu dari merekaโ€ [QS. Al-Zukhruf 75]; Dan Sesungguhnya mereka tidak akan dikeluarkan dari neraka.โ€ [QS. Al-Baqarah 167]; โ€œDan syafaโ€™at tidak dapat bermanfaat bagi mereka.โ€ [QS. Al-Muddatstsir 48]; dan ayat-ayat lainnya. Telah diterangkan dalam hadis shahih bahwa neraka jahim adalah neraka yang ditempati oleh orang-orang mukmin yang berbuat kemaksiatan. Mereka kemudian dikeluarkan dari neraka yang terletak di bagian paling atas tersebut. Siksaan yang dialami oleh orang-orang mukmin yang bermaksiat itu lebih ringan daripada siksaan yang dirasakan oleh orang-orang kafir. Karena Abลซ แนฌฤlib merupakan orang yang paling ringan siksaannya secara mutlak, maka siksaan yang diterimanya lebih ringan daripada yang diterima oleh orang-orang mukmin yang bermaksiat. Apabila tidak demikian, maka sabda yang disampaikan oleh Nabi Muแธฅammad saw bahwa Abลซ แนฌฤlib adalah orang yang paling ringan siksaannya tidak benar. Hadis-hadis shahih menyatakan bahwa orang-orang Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201764 Ahmad Choirul Rofiqmukmin yang bermaksiat itu dikeluarkan dari neraka karena tidak akan ada lagi di dalam neraka itu orang yang hatinya beriman, meskipun keimanannya lebih kecil daripada sebiji sawi. Benar pula bahwa setelah orang-orang mukmin yang bermasiat itu dikeluarkan, maka api neraka tersebut padam, kemudian mengeluarkan hembusan angin dari pintu-pintunya dan tumbuhlah tanaman sayur di dalamnya. Tanaman tersebut tentu tidak akan tumbuh apabila masih ada api neraka yang menyentuh di bawah telapak kaki. Oleh karena itu, Abลซ แนฌฤlib wajib dikeluarkan dari dalam neraka tersebut berdasarkan dalil-dalil yang semuanya shahih. Kami mengatakan terdapat hadis shahih yang menerangkan bahwa Nabi Muแธฅammad saw bersabda, โ€œSyafaโ€™atku diperuntukkan bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar.โ€ Dalam hadis lain, โ€œBagi orang yang tidak menyekutukan Allah Swt dengan sesuatu apapun.โ€ Tamฤm al-Rฤzฤซ dalam buku Fawฤโ€™id-nya dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda, โ€œApabila terjadi hari kiamat, maka aku memberikan syafaโ€™at kepada ayahku, ibuku, pamanku Abลซ แนฌฤlib, dan saudaraku pada masa jahiliyah.โ€ Al-Muแธฅibb al-แนฌabarฤซ menerangkan di dalam karyanya yang berjudul Dhakhฤโ€™ir al-Uqbฤ fฤซ Manฤqib Dhawฤซ al-Qurbฤ dan Abลซ Nuโ€™aim menyatakan bahwa saudara yang dimaksudkan oleh Nabi Muแธฅammad saw itu adalah saudara sepersusuan.โ€ 243. Abลซ แนฌฤlib mengikuti agama แธฅanฤซf yang mengesakan Allah Swt, sebagaimana dianut oleh Abd Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn, agama yang diyakini oleh Abลซ แนฌฤlib sama dengan agama yang dipeluk oleh Abd al-Muแนญแนญalib, ayahnya, yakni agama แธฅanฤซf yang mengesakan Allah Swt. Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn menjelaskannya sebagai berikut.๎€ƒ๎ฐ๎Ž˜๎Žฃ๎€ƒ๎ŽŽ๎ง๎Žฎ๎˜๎“๎€ƒ๎ŽŽ๎ง๎Žฎ๎—๎€ƒ๎ก๎Žฉ๎Ž ๎€ƒ๎ฒ๎จ๎Ž‘๎€ƒ๎ฅ๎ญ๎Žฎ๎—๎€ƒ๎Žฎ๎ด๎Žง๎€ƒ๎ฆ๎ฃ ๎€ƒ๎Ž–๎Žœ๎‹ฐ๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎Žš๎ณ๎Žช๎Žฃ๎€ƒ๎ฑ๎Žญ๎ŽŽ๎Žจ๎Ž’๎Ÿ๎Ž ๎€ƒ๎Ž๎Žฎ๎Žง๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎ฆ๎ด๎Ž‘๎€ƒ๎Ž–๎ง๎Žฎ๎—๎€ƒ๎Ž๎Žซ๎Žˆ๎“๎€ƒ๎€‘๎‚ด๎€ƒ๎ช๎ด๎“๎€ƒ๎Ž–๎จ๎›๎€ƒ๎ฑ๎Žฌ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Žฎ๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž–๎Žœ๎‹ฐ๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎ฐ๎Ž˜๎Žฃ๎€ƒ๎ŽŽ๎ง๎Žฎ๎˜๎“๎€ƒ๎ฅ๎Žฎ๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž–๎Žœ๎‹ฐ๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎ฆ๎ด๎ค๎ ๎Žด๎ฃ๎€ƒ๎Ž”๎Œ๎Ž’๎Žณ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ž๎Žจ๎Ž—๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎€ƒ๎Žฝ๎Žญ๎ท๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎‚ด๎€ƒ๎ญ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎ก๎Žฉ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎จ๎Ž‘๎€ƒ๎ฅ๎ญ๎Žฎ๎—๎€ƒ๎Žฎ๎ด๎Žง๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž–๎Žœ๎‹ฐ๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎ž๎›๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ฅ๎Ž‡๎€ƒ๎ช๎ง๎ท๎€ƒ๎ฅ๎ญ๎Žช๎Žฃ๎ฎ๎ฃ๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ ๎‹ฐ๎›๎€ƒ๎ช๎Ž‹๎ŽŽ๎Ž‘๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฑ๎Žฏ๎Ž๎Žฎ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ก๎ŽŽ๎ฃ๎น๎Ž๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎Žž๎‹ฐ๎Ž˜๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎‹ฌ๎‚ด๎€ƒ๎ฒ๎Ž ๎ง๎Žฏ๎Žฎ๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žฎ๎›๎Žซ๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ ๎€‘๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ง๎ŽŽ๎ฃ๎Žฏ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฆ๎ณ๎Žญ๎ฎ๎›๎Žฌ๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎Œ๎Ž’๎‹ฐ๎Žด๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎ ๎ค๎‹ฐ๎ŽŸ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฉ๎Žฉ๎Ž๎Žช๎‹ฐ๎ŽŸ๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Žช๎‹ฐ๎ŽŸ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎Ž‘๎Ž๎€ƒ๎Ž“๎ŽŽ๎Ž ๎ง๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Ž๎ฎ๎”๎Ÿ๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎ค๎ฃ๎€ƒ๎ข๎ซ๎Žฎ๎ด๎๎ญ๎€ƒ๎ฒ๎๎ฎ๎ด๎Žด๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ž๎›๎€ƒ๎Ž๎ญ๎Žฉ๎Žฎ๎“๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎š๎Ÿ๎Žซ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ฆ๎ด๎ซ๎Ž๎Žฎ๎Ž‘๎ญ๎€ƒ๎ž๎Ž‹๎ป๎Žฉ๎€ƒ๎Žช๎ด๎Žฃ๎ฎ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ ๎‹ฐ๎›๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ฒ๎“๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ข๎ฌ๎Ž—๎ŽŽ๎ฌ๎ฃ๎Žƒ๎ญ24Ibid., 69-72 dan 75 dan 76. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 65 ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎Ž“๎Žฎ๎ด๎Žœ๎›๎€ƒ๎Žš๎ณ๎Žฉ๎ŽŽ๎Žฃ๎Žƒ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Žข๎Žป๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ ๎€‘๎Ž”๎ค๎ŽŸ๎Žฎ๎Ž˜๎Ž‘๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎Ž‘๎ต๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Žช๎Žฃ๎Žƒ๎€ƒ๎ฒ๎“๎ญ๎€ƒ๎€‘๎‚ด๎€ƒ๎Ž•๎Ž๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎„๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ก๎ŽŽ๎Žฃ๎Žญ๎Žƒ๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎Ž‡๎€ƒ๎ฆ๎ณ๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎„๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎ผ๎Žป๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ž๎˜๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎๎Žฏ๎Žƒ๎€ƒ๎ข๎‹ฐ๎Ÿ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€‘๎‚ด๎€ƒ๎Ž“๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎„๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ก๎ŽŽ๎Žฃ๎Žญ๎ท๎Ž๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎Ž‡๎€ƒ๎Ž”๎Ž’๎‹ฐ๎ด๎‹ฐ๎Žด๎Žค๎‹ฐ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎ผ๎Žป๎ท๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฒ๎จ๎ ๎˜๎จ๎ณ๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎๎Žฐ๎ณ๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎Ž”๎ณ๎Ž๎ญ๎Žญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎ฎ๎—๎ญ๎€ƒ๎€‹๎€‹๎€ƒ๎ฆ๎ณ๎Žช๎ŽŸ๎ŽŽ๎‹ฐ๎Žด๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎š๎Ž’๎‹ฐ๎ ๎‹ฐ๎˜๎Ž—๎ญ๎€ƒ๎€Œ๎€Œ๎€ƒ๎€๎ฐ๎Ÿ๎ŽŽ๎Œ๎Ž—๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎ฎ๎—๎€ƒ๎ข๎‹ฐ๎ฌ๎‹ฐ๎€๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎ž๎ค๎‹ฐ๎Žฃ๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ซ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎ญ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎Ž•๎Ž๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎„๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ก๎ŽŽ๎Žฃ๎Žญ๎Žƒ๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎Ž‡๎€ƒ๎ฆ๎ณ๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎„๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎ผ๎Žป๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎Žฎ๎“๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ข๎ฌ๎ด๎“๎€ƒ๎Žฒ๎ด๎Ÿ๎€ƒ๎‹ฏ๎Ž๎ฎ๎Žฃ๎ญ๎€ƒ๎ก๎Žฉ๎Ž๎€ƒ๎๎Ž‡๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Ž—๎ŽŽ๎ฌ๎ฃ๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฒ๎Ž’๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎Ž‘๎Ž‚๎“๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎๎ฎ๎Žณ๎Žญ๎€ƒ๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ ๎€ƒ๎€‘๎Žฎ๎ซ๎ŽŽ๎ ๎€ƒ๎ช๎ง๎Ž„๎Ž‘๎€ƒ๎’๎‹ฐ๎Žป๎ฎ๎ณ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎Žฎ๎“๎ŽŽ๎œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎ท๎€ƒ๎ฒ๎จ๎‹๎Žฏ๎ŽŽ๎จ๎Ž˜๎Ž—๎€ƒ๎๎Žฐ๎Ž—๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ก๎Žฉ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž–๎ŽŸ๎Žฎ๎Žง๎€ƒ๎Žฌ๎‹ฐ๎จ๎ฃ๎€ƒ๎‚๎—๎€ƒ๎ฒ๎๎Ž‘๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž•๎Žช๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎Ž“๎Žฎ๎ซ๎Žฏ๎ญ๎€ƒ๎ข๎Žท๎ŽŽ๎ซ๎€ƒ๎€๎Ž๎Žฎ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฆ๎ด๎‹ฐ๎ด๎‹ฐ๎Žฃ๎€ƒ๎ž๎€๎“๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž–๎ŽŸ๎Žฎ๎Žง๎€ƒ๎ฐ๎Ž˜๎Žฃ๎€ƒ๎Žฎ๎Ž‘๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎Ž๎Žฎ๎Ž‘๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ข๎ฃ๎ท๎Ž๎€ƒ๎ฉ๎ญ๎Žฎ๎›๎Žซ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎Žพ๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎Žฎ๎›๎Žฌ๎จ๎ ๎“๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎Ž”๎ ๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ฎ๎ซ๎€ƒ๎€๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ŽŽ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎Žš๎ด๎Žฃ๎ญ ๎€‘๎‚ด๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ฉ๎ญ๎Žฎ๎›๎Žซ๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎ค๎‹ฐ๎“๎€ƒ๎€‘๎Žช๎ด๎Žฃ๎ฎ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ŽŽ๎จ๎ด๎˜๎ณ๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎ ๎‹๎€ƒ๎ข๎ ๎Œ๎Ž˜๎Ÿ๎€ƒ๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎€‘๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ช๎ค๎‹๎€ƒ๎Žช๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎Ž”๎Žณ๎ŽŽ๎ณ๎Žฎ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ช๎ด๎Ÿ๎Ž‡๎€ƒ๎Ž–๎ฌ๎Ž˜๎ง๎Ž๎ญ๎€ƒ๎Ž•๎ŽŽ๎”๎Žผ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎ค๎›๎Žƒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎Ž„๎‹ฐ๎Žธ๎ง๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ข๎ซ๎ŽŽ๎ฌ๎จ๎ณ๎ญ๎€ƒ๎•๎ผ๎Žง๎ท๎Ž๎€ƒ๎ก๎Žญ๎ŽŽ๎œ๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ข๎ฌ๎Žœ๎Žค๎ณ๎ญ๎€ƒ๎ฒ๎๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ข๎ ๎ˆ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎™๎Žฎ๎Ž˜๎Ž‘๎€ƒ๎ฉ๎Žฉ๎ป๎ญ๎Žƒ๎€ƒ๎Žฎ๎ฃ๎Ž„๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ข๎‹ฐ๎˜๎‹ฐ๎Ž˜๎‹ฐ๎จ๎ณ๎€ƒ๎ฐ๎Ž˜๎Žฃ๎€ƒ๎ก๎ฎ๎ ๎…๎€ƒ๎ŽŽ๎ด๎ง๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž๎Žฎ๎Žจ๎ณ๎€ƒ๎ฆ๎‹ฐ๎Ÿ๎€ƒ๎€๎๎ฎ๎˜๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Žญ๎ฎ๎ฃ๎ท๎Ž๎€ƒ๎Ž•๎ŽŽ๎ŽŒ๎ด๎ง๎Žฉ๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎ฆ๎‹ฐ๎Žด๎Žค๎ค๎‹ฐ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎ด๎“๎€ƒ๎ฏ๎Žฐ๎Ž ๎‹ฐ๎ณ๎€ƒ๎Žญ๎Ž๎Žฉ๎€ƒ๎Žญ๎Ž๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฉ๎Žฌ๎ซ๎€ƒ๎‹ฏ๎Ž๎Žญ๎ญ๎€ƒ๎ฅ๎Ž‡๎€ƒ๎ฏŒ๎ญ๎€ƒ๎€๎๎ŽŽ๎—๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Ž”๎Ž‘๎ฎ๎˜๎‹๎€ƒ๎ช๎Ž’๎‹ฐ๎ด๎‹ฐ๎Žผ๎Ž—๎ญ๎€ƒ๎ช๎จ๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎Žˆ๎“๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž”๎Ž‘๎ฎ๎˜๎‹๎€ƒ๎ช๎Ž’๎‹ฐ๎ด๎‹ฐ๎Žผ๎Ž—๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎ช๎ง๎Ž„๎‹ฐ๎Žท๎€ƒ๎ก๎ฎ๎ ๎ˆ๎Ÿ๎ŽŽ๎“๎€ƒ๎€๎ฑ๎Žƒ๎€ƒ๎‹ฌ๎ช๎Ž—๎‹ฏ๎ŽŽ๎Žณ๎Žˆ๎Ž‘๎€ƒ๎ŽŠ๎ด๎Žด๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎—๎ŽŽ๎Œ๎ณ๎ญ๎€ƒ๎ช๎ง๎ŽŽ๎Žด๎Žฃ๎Žˆ๎Ž‘๎€ƒ๎ช๎จ๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ค๎ณ๎Ž‡๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ฌ๎“ ๎€‘๎Ž“๎Žฎ๎Žง๎ต๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“ ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎€ƒ๎Ž“๎Žช๎Œ๎ฃ๎€ƒ๎ฒ๎ฌ๎“๎€ƒ๎Ž”๎Ž‘๎ฎ๎˜๎‹ ๎€ƒ๎ช๎Ž’๎‹ฐ๎Žผ๎Ž—๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎€ƒ๎ŽŽ๎ด๎ง๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ ๎€ƒ๎Ž๎Žฎ๎Žง๎Žƒ๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Ž๎ ๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Š๎˜๎ณ๎€ƒ๎ฒ๎ฌ๎Ÿ๎Ž‡๎€ƒ๎Žญ๎ฎ๎ง๎€ƒ๎ฒ๎ซ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž”๎—๎Žฉ๎ŽŽ๎Žผ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎Žณ๎Ž๎Žฎ๎”๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎ช๎ค๎ ๎‹๎€ƒ๎Žฎ๎Žง๎ต๎Ž๎€ƒ๎ก๎ฎ๎ด๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎Ž”๎Œ๎ณ๎Žฎ๎Žท๎€ƒ๎ฆ๎œ๎Ž—๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ฐ๎Ÿ๎ŽŽ๎Œ๎Ž—๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎Ž”๎ด๎ง๎Ž๎Žช๎Žฃ๎ฎ๎Ž‘๎€ƒ๎‘๎Žฎ๎Ž˜๎Œ๎ณ๎ญ๎€ƒ๎ก๎ŽŽ๎จ๎Žป๎ท๎Ž๎€ƒ๎Ž“๎Žฉ๎ŽŽ๎Ž’๎‹๎€ƒ๎Žพ๎“๎Žฎ๎ณ๎€ƒ๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎ ๎Žป๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ž—๎ŽŽ๎‹๎ฎ๎จ๎Žผ๎ฃ๎ญ๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎‹ฏ๎ป๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Žฎ๎œ๎”๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ช๎Ž—๎Žฉ๎ŽŽ๎Ž’๎‹๎€ƒ๎Ž–๎ง๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ฌ๎ ๎“๎€ƒ๎€‘๎ช๎จ๎ฃ๎Žฏ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Ž”๎‹๎ญ๎Žฎ๎Žธ๎ฃ๎€ƒ๎Ž๎Žฎ๎ด๎Žœ๎›๎€ƒ๎ฒ๎ ๎Ž˜๎Žจ๎‹ฐ๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎•๎ผ๎Žง๎ท๎Ž๎€ƒ๎ก๎Žญ๎ŽŽ๎œ๎ค๎Ž‘๎€ƒ๎‘๎ŽŽ๎Žผ๎Ž—๎ป๎Ž๎ญ๎€ƒ๎‘๎ญ๎Žฎ๎Œ๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎‰๎ŽŽ๎จ๎„๎Žป๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ก๎ŽŽ๎Žฃ๎Žญ๎ท๎Ž๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎ŽŽ๎Œ๎“๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎Ž•๎ŽŽ๎”๎Žป๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Žฎ๎ด๎œ๎”๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎•๎Ž๎Žฎ๎๎Ž˜๎Žณ๎ป๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ช๎Ž’๎ ๎—๎ญ๎€ƒ๎ฉ๎Žฎ๎œ๎“๎€ƒ๎Š๎ค๎Ž˜๎Ž ๎ด๎Ÿ๎€ƒ๎‹ฏ๎Ž๎Žฎ๎Žฃ๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎๎Ž‘๎€‘๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎Ž”๎Ÿ๎Ž๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎“๎ฎ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎€๎ŽŽ๎ฌ๎จ๎ฃ๎€ƒ๎€‘๎ŽŽ๎ฌ๎ ๎Œ๎”๎Ž‘๎€ƒ๎Žฑ๎ŽŽ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žฎ๎ฃ๎Ž„๎ณ๎ญ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎Ž‘๎€ƒ๎ŽŽ๎”๎Žผ๎Ž˜๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎ด๎Žท๎Žƒ๎€ƒ๎Ž”๎จ๎Žด๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ช๎จ๎‹๎€ƒ๎Žฉ๎Žญ๎ญ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž“๎Žฉ๎Ž…๎ฎ๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎Ž˜๎—๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎ฒ๎ฌ๎จ๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎•๎Žญ๎ŽŽ๎Žด๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎ณ๎€ƒ๎Š๎„๎—๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ก๎Žญ๎ŽŽ๎Žค๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žก๎ŽŽ๎œ๎ง๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Š๎จ๎ค๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎Žญ๎Žฌ๎จ๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎Ž”๎ณ๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎Œ๎ŽŸ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎๎ญ๎Žƒ๎€ƒ๎ฎ๎ซ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ŽŽ๎ง๎ŽŽ๎ณ๎Žฎ๎‹๎€ƒ๎Ž–๎ด๎Ž’๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎‘๎ฎ๎„๎ณ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ŽŽ๎ง๎Žฐ๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎Žฎ๎ค๎Žจ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ข๎ณ๎Žฎ๎Žค๎Ž—๎ญ๎€ƒ๎‚๎Žค๎—๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎Ž‘๎ŽŽ๎Žป๎Žƒ๎€ƒ๎Ž๎Žซ๎Ž‡๎€ƒ๎Žถ๎ณ๎Žฎ๎—๎€ƒ๎Ž–๎ง๎ŽŽ๎›๎ญ ๎€‘๎Ž๎Žญ๎Žฎ๎˜๎ฃ๎ญ๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žฌ๎Ÿ๎€ƒ๎Ž๎Žช๎ณ๎Ž†๎ฃ๎€ƒ๎‰๎Žฎ๎Žธ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎Ž ๎“๎€ƒ๎ž๎Ž‘๎น๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž”๎Ž‹๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎Ž๎ฎ๎ฃ๎Žช๎ฌ๎ด๎Ÿ๎€ƒ๎ž๎ด๎”๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎ŽŽ๎Žค๎Žป๎Žƒ๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎ŽŸ๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ฅ๎ฎ๎˜๎Žด๎ด๎“๎€ƒ๎ช๎Ž‘๎€ƒ๎ฒ๎˜๎Žด๎Ž˜๎Žด๎Ž˜๎“๎€ƒ๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎ฒ๎Ž—๎Ž„๎Ž—๎€ƒ๎Žช๎ณ๎Žช๎Žท๎€ƒ๎Žถ๎ณ๎Žฎ๎—๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎ค๎ ๎‹๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ข๎ˆ๎Œ๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž–๎ด๎Ž’๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎จ๎‹๎€ƒ๎ช๎Ž‹๎ŽŽ๎‹๎Žช๎Ž‘๎€ƒ๎Ž๎ฎ๎œ๎ ๎ซ๎€ƒ๎Ž”๎Ž’๎Œ๎œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žš๎จ๎Žค๎Ž—๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎๎ญ๎Žƒ๎€ƒ๎ฎ๎ซ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ช๎Žด๎”๎ง๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎Ž“๎Žฎ๎ค๎Žจ๎ ๎Ÿ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎Žฎ๎Žค๎ฃ๎€ƒ๎Ž“๎ฎ๎‹๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎ŽŽ๎Ž ๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ŽŽ๎ฌ๎Ž‹๎ŽŽ๎ค๎œ๎Žฃ๎ญ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎€๎ฃ๎Žญ๎€ƒ๎Žฎ๎ฌ๎Žท๎€ƒ๎ž๎Žง๎Žฉ๎€ƒ๎Ž๎Žซ๎Ž‡๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Žฉ๎Žช๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž•๎Ž๎ญ๎Žซ๎€ƒ๎ฒ๎Ÿ๎ŽŽ๎ด๎ ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎Œ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎€๎Žš๎จ๎Žค๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎€‘๎‹ฏ๎Ž๎Žฎ๎Žฃ๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎๎Ž‘๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎‹ฏ๎ผ๎ŽŸ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Žฎ๎œ๎”๎Ž˜๎ณ๎€ƒ๎Žฑ๎ŽŽ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎ฒ๎ ๎Žจ๎Ž˜๎ ๎Ÿ๎€ƒ๎ฉ๎Žฉ๎ฎ๎Œ๎Žป๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ฆ๎ด๎›๎ŽŽ๎Žด๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ข๎Œ๎๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎ฉ๎Žช๎Œ๎Žป๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎๎ŽŽ๎Ž’๎Ž ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žฑ๎ญ๎Ž…๎Žญ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Žต๎ฎ๎Žฃ๎ฎ๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎Žฎ๎ด๎„๎ ๎Ÿ๎€ƒ๎ช๎Ž—๎Žช๎Ž‹๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Š๎“๎Žฎ๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ช๎Ž˜๎ค๎ˆ๎‹๎ญ Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201766 Ahmad Choirul Rofiq๎€ƒ๎Ž”๎Ž’๎ด๎Žท๎€ƒ๎€๎ช๎Ÿ๎€ƒ๎ž๎ด๎˜๎“๎€ƒ๎Ž”๎Ž’๎ด๎Žท๎€ƒ๎ช๎Žณ๎Žƒ๎Žญ๎€ƒ๎ฒ๎“๎ญ๎€ƒ๎Žช๎Ÿ๎ญ ๎€‘๎Žฝ๎ŽŽ๎ด๎”๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎€ƒ๎๎ŽŽ๎˜๎ณ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Žฎ๎ด๎„๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ข๎Œ๎„๎ฃ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎€ƒ๎๎ŽŽ๎˜๎ณ๎€ƒ๎Žฎ๎Žœ๎œ๎“๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žซ๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎–๎˜๎Žฃ๎€ƒ๎Žช๎—๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ช๎Ÿ๎€ƒ๎Žฑ๎ŽŽ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎ค๎Žฃ๎€ƒ๎Žฎ๎Žœ๎œ๎ณ๎ญ๎€ƒ๎Žฆ๎ด๎Žธ๎ณ๎ญ๎€ƒ๎Žฎ๎Ž’๎œ๎ณ๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎ŽŸ๎Žญ๎€ƒ๎‹ฌ๎Žช๎ค๎Žค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ข๎ฌ๎”๎ณ๎Žฎ๎Žท๎ญ๎€ƒ๎Žญ๎ฎ๎ฃ๎ท๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎ข๎ซ๎Ž„๎Ž ๎ ๎ฃ๎ญ๎€ƒ๎Ž๎Ž‹๎Ž๎ฎ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Žถ๎ณ๎Žฎ๎—๎€ƒ๎‰๎Žฐ๎”๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ช๎ง๎ท๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎€ƒ๎ข๎ซ๎Žช๎ค๎Žฃ๎€ƒ๎Žฎ๎”๎Žฃ๎€ƒ๎€๎ŽŽ๎ฌ๎จ๎ฃ๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž“๎Žฎ๎ด๎Žœ๎›๎€ƒ๎Ž๎—๎ŽŽ๎จ๎ฃ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎ญ ๎€‘๎Ž”๎จ๎Žณ๎€ƒ๎ฆ๎ด๎Œ๎Ž‘๎Žญ๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎Ž”๎Ž‹๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎Žต๎ŽŽ๎‹๎€ƒ๎ผ๎Œ๎“๎ญ๎€ƒ๎ป๎ŽŽ๎ค๎›๎€ƒ๎ข๎ซ๎Žช๎ด๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Žช๎Žท๎Žญ๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎ŽŽ๎ซ๎Žฎ๎”๎Žค๎Ž‘๎€ƒ๎ก๎ŽŽ๎จ๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Žฎ๎ฃ๎Ž„๎“๎€ƒ๎‹ฌ๎ž๎ด๎‹๎ŽŽ๎ค๎Žณ๎Ž‡๎€ƒ๎Žช๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎Ž–๎Žณ๎Žญ๎Žฉ๎€ƒ๎Ž–๎ง๎ŽŽ๎›๎ญ๎€ƒ๎ก๎Žฐ๎ฃ๎Žฏ๎€ƒ๎Žฎ๎ŽŒ๎Ž‘๎€ƒ๎Ž“๎Žฎ๎ด๎Žด๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎“๎ญ ๎€ƒ๎€‘๎Žฎ๎ด๎Žด๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎Ž˜๎› ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Ž“๎Žญ๎ฎ๎›๎Žฌ๎ฃ ๎€ƒ๎Ž”๎ ๎ณ๎ฎ๎๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žซ ๎€ƒ๎Ž”๎Žผ๎—๎ญ ๎€ƒ๎€‘๎ŽŽ๎ฌ๎ ๎Žค๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎Ž‡ ๎€ƒ๎ก๎ŽŽ๎จ๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎Žป๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎๎ฎ๎Žณ๎Žญ๎€ƒ๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎€๎๎ŽŽ๎—๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎ฌ๎จ๎‹๎€ƒ๎ฏŒ๎€ƒ๎ฒ๎Žฟ๎Žฎ๎Žณ๎ŽŽ๎Ž’๎‹๎€ƒ๎ฆ๎Ž‘๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎‹๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž”๎ด๎Ž’๎ ๎Žค๎Ÿ๎Ž๎€‘๎‚ณ๎‘๎Ž๎Žฎ๎Žท๎ท๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎ฌ๎Ž‘๎Žƒ๎ญ๎€ƒ๎™๎ฎ๎ ๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฑ๎Žฏ๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Ž”๎ฃ๎ŽŽ๎ด๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ก๎ฎ๎ณ๎€ƒ๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎ฑ๎Žช๎ŽŸ๎€ƒ๎Žš๎Œ๎Ž’๎ณ๎€ƒ๎‚ด๎€ƒ๎€๎ข๎ ๎Žณ๎ญ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ŽŽ๎จ๎ด๎˜๎ณ๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎ ๎‹๎€ƒ๎ข๎ ๎‹๎€ƒ๎‹ฌ๎ช๎Ž˜๎ค๎ŽŸ๎Žฎ๎Ž—๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎‹ฏ๎ŽŽ๎ค๎ ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฉ๎Žฎ๎›๎Žซ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎’๎—๎ญ๎€ƒ๎ฆ๎ค๎“๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž”๎ ๎ค๎Ž ๎Ÿ๎ŽŽ๎Ž‘๎ญ๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎๎ฎ๎—๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎ข๎ ๎Œ๎ณ๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ฌ๎Ž‘๎ญ๎€ƒ๎€‘๎ก๎ผ๎Žด๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ก๎Žฉ๎Ž๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎Ž‡๎€ƒ๎ช๎Ž‹๎ŽŽ๎Ž‘๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎ด๎˜๎Ž‘๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎œ๎ซ๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Žช๎ด๎Žฃ๎ฎ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎•๎ผ๎Žง๎ท๎Ž๎€ƒ๎ก๎Žญ๎ŽŽ๎œ๎ฃ๎ญ๎€ƒ๎Žช๎ด๎Žฃ๎ฎ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ช๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ฐ๎Ÿ๎Ž‡๎€ƒ๎Ž“๎Žญ๎ŽŽ๎Žท๎Ž‡๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎Ž”๎ ๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ฎ๎ซ๎€ƒ๎€๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ฎ๎ซ๎ญ๎€ƒ๎€๎ช๎Ÿ๎ฎ๎—๎€ƒ๎ป๎Ž‡๎€ƒ๎Žช๎ด๎Žฃ๎ฎ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎Ž”๎Ÿ๎Ž๎Žช๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž•๎Ž๎Žญ๎ŽŽ๎Žท๎น๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Ž๎Ÿ๎ŽŽ๎๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎Žƒ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Žญ๎Žช๎Žผ๎ณ๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎€ƒ๎ฎ๎Ÿ๎ญ๎€‘๎ŽŽ๎ด๎“๎ŽŽ๎›๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Žซ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎œ๎Ÿ๎€ƒ๎‹ฌ๎Ž๎ ๎„๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Žช๎Ž’๎‹๎€ƒ๎Ž”๎ ๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹Artinya โ€œAl-Bukhฤrฤซ meriwayatkan hadis bahwa Nabi Muแธฅammad saw bersabda, โ€œSaya diutus dari generasi terbaik sejak Bani ฤ€dam secara bergantian dari generasi ke generasi hingga sampai pada generasi aku dilahirkan.โ€ Apabila hadis ini dibandingkan dengan hadis-hadis yang menyatakan bahwa sesungguhnya bumi tidak kosong dan terdapat tujuh orang atau lebih yang beragama Islam sebagai pelindung bumi, maka Imam al-Rฤzฤซ menyimpulkan bahwa para leluhur Nabi Muแธฅammad saw adalah orang-orang yang semuanya bertauhid meyakini keesaan Allah Swt karena apabila setiap leluhurnya termasuk dalam tujuh orang yang disebutkan tersebut. Al-Barzanjฤซ, al-Suyลซแนญฤซ dan lain-lain yang menulis karya tentang keselamatan semua leluhur Nabi Muแธฅammad saw dan menegaskan bahwa semuanya meyakini keesaan Allah Swt telah menyajikan dalil-dalil beserta bukti-bukti dan riwayat hidup mengenai leluhur Nabi Muแธฅammad saw tersebut. Terdapat dalam banyak hadis shahih bahwa Nabi Muแธฅammad saw bersabda, โ€œSaya selalu dipindah-pindahkan dari tulang rusuk pria-pria yang suci ke rahim perempuan-perempuan yang suci.โ€ Dalam riwayat lain, โ€œAllah Swt selalu memindah-mindahkan diriku dari tulang rusuk โ€“ tulang rusuk yang mulia ke rahim-rahim yang suci.โ€ Mengenai hal itu, sebagian penulis menuturkan firman Allah Swt, โ€œ Dan perubahan gerak badanmu di antara orang-orang Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 67 yang bersujud.โ€ [QS. Al-Syuโ€™ara 219] dan sabda Rasuluullah saw, โ€œDari tulang rusuk โ€“ tulang rusuk yang mulia ke rahim-rahim yang suci.โ€ Oleh sebab itu, seluruh leluhur kakek maupun nenek Nabi Muแธฅammad saw hingga Nabi ฤ€dam dan แธคawwฤโ€™ tidak ada yang kafir karena orang kafir tidak akan disifati sebagai orang suci. Rasulullah saw bersabda, โ€œSaya tidak dilahirkan dari generasi yang jelek sedikitpun semenjak kelahiranku dari tulang rusuk Nabi ฤ€dam dan saya senantiasa berpindah-pindah dari berbagai generasi umat yang baik sampai saya dilahirkan dari dua generasi terbaik masyarakat Arab, yaitu Hฤsyim dan Zuhrah.โ€ Karena Abลซ แนฌฤlib menyatakan bahwa dirinya menganut agama yang dianut oleh Abd al-Muแนญแนญalib, maka berikut ini diuraikan mengenai kepribadian Abd al-Muแนญแนญalib agar Anda mengetahui dengan pengetahuan yang meyakinkan bahwa Abd al-Muแนญแนญalib sesungguhnya menganut agama tauhid. Di antara yang mereka terangkan adalah bahwa Abd al-Muแนญแนญalib tumbuh dengan sifat-sifat utama sehingga kepemimpinan dianugerahkan kepadanya setelah kepemimpinan pamannya, al-Muแนญแนญalib. Abd al-Muแนญแนญalib memerintahkan anak-anaknya untyk menjauhi kezaliman dan kejahatan, mendorong mereka agar menerapkan akhlak terpuji, dan melarang mereka agar menjauhi perbuatan-perbuatan tercela. Abd al-Muแนญแนญalib mengatakan, โ€œOrang yang berbuat zalim tidak akan keluar dari dunia meninggal sehingga Allah Swt memberikan balasan hukuman kepada orang itu dan orang itu akan mendapatkan siksaan.โ€ Beliau berkata pula, โ€œSesungguhnya di balik negeri dunia ini terdapat negeri akhirat yang di sana orang baik mendapatkan balasan kebaikannya dan orang jahat mendapatkan balasan kejahatannya.โ€, yakni seseorang yang berbuat zalim wajib mendapatkan hukuman dan apabila dia mati sebelum mendapatkan hukuman, maka hukumannya itu didapatkan di akhirat. Ini adalah keimanan Abd al-Muแนญแนญalib terhadap hari akhir yang diketahuinya berdasarkan firasatnya yang benar, yaitu cahaya keilahian yang terdapat di dalam hatinya. Abd al-Muแนญแนญalib menolak penyembahan berhala. Beliau mengakui keesaan Allah Swt, yang saat itu belum ada ketentuan semacam itu. Oleh sebab itu, ibadahnya berupa perenungan terhadap sifat-sifat Allah Swt dan ciptaan-ciptaan-Nya. Beliau Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201768 Ahmad Choirul Rofiqselalu menyambung silaturrahmi, melaksanakan perbuatan-perbuatan baik, dan menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji. Beliau sering menyendiri di dalam Gua Hira untuk menyatukan pikiran beserta hatinya untuk meneggelamkan dirinya dalam perenungan terhadap sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah hadis disebutkan berbagai hal yang dikaitkan dengan pribadi Abd al-Muแนญแนญalib. Di antaranya ialah perintah untuk menunaikan nadzar, larangan untuk menikahi mahram, perintah memotong tangan pencuri, larangan membunuh bayi, larangan meminum khamr, larangan berzina, dan larangan berthawaf di kaโ€™bah dengan telanjang. Beliau adalah orang pertama yang menetapkan tebusan diyat sebanyak seratus unta, sehingga kemudian syariat menetapkan dan memperkuat ketentuan diyat tersebut. Masyarakat Quraisy biasanya mendatangi Abd al-Muแนญแนญalib apabila sedang mengalami kemarau dan paceklik yang amat berat. Mereka memohon kepada Abd al-Muแนญแนญalib agar berdoa meminta hujan sehingga mereka mendapatkan siraman hujan. Pada saat bala tentara bergajah berdatangan untuk menghancurkan kaโ€™bah, maka mereka semua mengalami kehancuran berkat doa yang dipanjatkan Abd al-Muแนญแนญalib di sisi baitullah yang mulia tersebut. Abd al-Muแนญแนญalib merupakan orang alim dan bijaksana di kalangan masyarakat Quraisy. Beliau adalah orang yang doa-doa terkabul. Beliau mengharamkan khamr bagi dirinya sendiri. Beliau adalah orang pertama yang bertahannus yaitu beribadah selama berhari-hari di Gua Hira. Ketika memasuki bulan Ramadhan, beliau naik ke bukit untuk tahannus dan memberikan makanan kepada orang-orang miskin. Perbuatan tahannusnya tersebut untuk mengasingkan dirinya dari masyarakat sehingga dapat melakukan perenungan mengenai kemuliaan dan keagungan Allah Swt. Beliau mengangkat hidangannya untuk diberikan kepada burung-burung dan binatang-binatang yang ada di bukit itu sehingga beliau dijuluki dengan muแนญโ€™im al-แนญayr si pemberi makan burung dan al-fayyฤแธ si pemurah. Abd al-Muแนญแนญalib dilahirkan dengan mempunyai uban di kepalanya sehingga dia dijuluki syaybah al-แธฅamd uban pujian dengan harapan beliau semakin mendapat banyak pujian manusia ketika besar dan bertambah tua. Allah Swt mengabulkan harapan tersebut dan Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 69 banyak orang yang memuji Abd al-Muแนญแนญalib karena beliau adalah pelindung masyarakat Quraisy, tumpuan mereka dalam berbagai urusan, junjungan mereka, dan panutan mereka dengan keutamaan dan perbuatannya. Beliau hidup hingga berusia empat puluh tahun. Beliau mempunyai banyak keutamaan. Di antaranya adalah beliau telah menggali sumur zamzam yang tidak ada lagi bekas-bekasnya setelah Nabi Ismฤโ€™ฤซl. Beliau diperintahkan untuk menggali sumur zamzam dan diberi petunjuk mengenai lokasinya juga melalui mimpinya itu. Kisah penggalian sumur zamzam tersebut panjang dan disebutkan di berbagai buku sejarah. Di dalam buku al-Sฤซrah al-แธคalabiyyah disebutkan dari Ibn Abbฤs bahwa Rasulullah saw bersabda, โ€œKakek saya Abd al-Muแนญแนญalib dibangkitkan pada hari kiamat dengan pakaian para raja dan keagungan para bangsawan.โ€ Kesimpulannya, barangsiapa yang memahami penjelasan para ulama mengenai riwayat hidup Abd al-Muแนญแนญalib, maka dia dapat mengetahui dengan pengetahuan yang meyakinkan bahwa Abd al-Muแนญแนญalib menganut agama tauhid. Demikian pula, para leluhurnya yang lain hingga sampai kepada Nabi ฤ€dam. Oleh karena itu, diketahui bahwa ucapan Abลซ แนฌฤlib bahwa beliau mengikuti agama yang dianut Abd al-Muแนญแนญalib menunjukkan dirinya yang mengikuti agama tauhid dan menjalankan akhlak-akhlak mulia. Meskipun tidak keluar dari dari pernyataannya yang menunjukkan dirinya menganut agama tauhid, kecuali ucapannya bahwa beliau mengikuti agama yang dianut Abd al-Muแนญแนญalib, maka sesungguhnya hal itu sudah mencukupi untuk dijadikan dalil. 25 PEMAHAMAN MENGENAI KEIMANAN ABลช แนฌฤ€LIB DAN DERADIKALISASI AGAMA Dengan mempunyai pemahaman yang tepat mengenai keimanan Abลซ แนฌฤlib, maka setiap orang yang beriman dapat menerapkan keyakinan teologisnya secara inklusif karena orang tersebut dalam berteologi tidak mudah melemparkan tudingan kafir kepada orang lain yang berbeda mazhab, keyakinan, atau agama lain. Di sinilah terletak urgensi teologi inklusif dalam mengikis radikalisasi agama. Kehadiran Islam sebagai salah satu agama yang dianut oleh umat manusia, tidaklah datang dalam kondisi masyarakat yang hampa 25Ibid., 104-111. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201770 Ahmad Choirul Rofiqagama dan keyakinan. Al-Qurโ€™an, yang diyakini sebagai firman Allah Swt, keyataannya telah memasuki wilayah historis. Berangkat dari kenyataan bahwa tidak mungkin memisahkan ajaran Islam dari realitas, maka terdapat pengaruh-pengaruh tertentu lingkungan hidup sekelompok manusia bagi perilaku keagamaannya. Hal ini bukan berarti pembatalan atas keuniversalan suatu agama, terlebih Islam. Persoalan yang mungkin akan terjadi hanyalah berkenaan dengan munculnya keragaman dalam menerapkan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama. Dalam konteks Islam, munculnya keanekaragaman atau perbedaan bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan ia dipandang sebagai sesuatu yang bernilai positif sebagai rahmat dari Tuhan. Nurcholis Madjid mengatakan bahwa di antara tiga agama moniteis atau Abrahamic religion, yaitu Yahudi, Nasrani Kristen dan Islam, agama yang disebut terakhir Islam adalah yang paling dekat dengan modernitas. Ini disebabkan oleh kandungan ajaran Islam yang sarat dengan pesan universalisme, skripturalisme, egalitarianisme spiritual, dan mengandung ajaran tentang sistematisasi rasional kehidupan Adapun faktor yang menyebabkan benturan antar umat beragama antara lain adalah emosi keagamaan. Emosi keagamaan mudah dibakar oleh gambaran sikap zalim umat tertentu atas umat tertentu atau antar beberapa aliran sekte dalam agama tertentu. Sentuhan agama tidak cukup arif untuk meredam kobaran emosi yang disemangati oleh tindakan pembelaan atas nama Tuhan. Tidak sedikit penganut agama tertentu gugur, mengorbankan diri hanya karena salah faham dan berbeda keyakinan. Padahal dalam kehidupan sosial, umat beragama dianjurkan untuk bersahabat, berkomunikasi, dan bekerja sama agar terwujudnya rahmah di antara mereka. Dengan demikian akan terwujud kondisi harmonis dalam serentetan bukti kerusuhan-kerusuhan yang berbau SARA di Indonesia menunjukkan bahwa secara kolektif kita 26Agus Sunaryo, โ€œTeologi Inklusif Nurcholis Madjid dan Pengaruhnya terhadap Fikih Lintas Agama di Indonesiaโ€, Al-Manahij, Vol 6, No 1, 2012, Sulaiman, Agama dan Keberagamaan Tinjauan Agama dan Upaya Meneguhkan Harmoni antar Umat Beragama Makalah dalam acara Annual International Conference on Islamic Studies AICIS ke-14 pada tanggal 21-24 November 2014 di Balikpapan Kalimantan Timur, 12-14. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 71 sebenarnya tidak mau belajar tentang bagaimana hidup secara bersama secara rukun. Bahkan dapat dikatakan, agen-agen sosialisasi utama seperti keluarga dan lembaga pendidikan, tampaknya tidak berhasil menanamkan sikap toleransi-inklusif dan tidak mampu mengajarkan untuk hidup bersama dalam masyarakat plural. Di sinilah letak pentingnya sebuah ikhtiar menanamkan berfikir inklusif melalui pendidikan agama. Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang natural karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain ketika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis seperti yang seringkali terjadi. Dalam konteks inilah, pendidikan teologi inklusif sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif demi harmonisasi SARA. Peran dan fungsi pendidikan teologi inklusif adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain guna untuk menumbuhkan sikap teologi inklusif mengedepankan penyadaran dialog yang santun bagi murid menjadi sebuah prasyarat terbangunnya berteologi inklusif yang merupakan tantangan yang harus diimplementasikan dalam setiap kehidupan umat beragama. Karena menolak pluralitas justru akan sangat membahayakan terciptanya kedamaian yang diidamkan semua pihak. Pendidikan teologi inklusif harus mampu memberikan internalisasi nilai-nilai spiritual yang mampu memberikan pencerahan spiritual, yaitu pencerahan yang mengantarkan pada keakraban, cinta, keberanian, nilai eskatis dan kemabukan dalam diri sang Khaliq Allah Swt. Atas dasar itu, dapat kita ditemukan sebuah pemahaman pendidikan teologi inklusif adalah proses internalisasi kesadaran berteologi bagi setiap siswa di sekolah agar mengetahui akan sifat dasar suci fitrah yang sudah tertanam dalam hati setiap Syarif, Pendidikan Teologi Inklusif; Konsep dan Aplikasi, makalah dipresentasikan pada forum Annual International Conference on Islamic Studies AICIS ke 15. Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Departemen Agama RI di Manado pada 3-6 September 2015, 8-10. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201772 Ahmad Choirul RofiqSelain dapat menerapkan keyakinan teologisnya secara inklusif karena dalam berteologi tidak mudah melemparkan tudingan kafir kepada orang lain yang berbeda mazhab, keyakinan, atau agama lain, seseorang yang mempunyai pemahaman yang tepat mengenai keimanan Abลซ แนฌฤlib dapat menciptakan suasana kehidupan beragama di lingkungan sekitarnya secara damai serta penuh dengan kerukunan dan dapat terhindar dari konflik keagamaan. Adapun yang dimaksud dengan kerukunan umat beragama adalah kehidupan dan rasa dengan damai, baik, tidak bertengkar, dan bersatu hati yang terjalin antar umat Dalam mewujudkan kerukunan umat beragama, ada beberapa langkah yang dapat diwujudkan, yaitu sikap toleransi, agree in disagreement, tiga kerukunan, dan perundang-undangan dalam rangka memelihara kerukunan umat โ€œtolerasiโ€ dalam bahasa Belanda adalah โ€œtolerantieโ€, dan kata kerjanya adalah โ€œtoleranโ€. Sedangkan dalam bahasa Inggris, adalah โ€œtolerationโ€ dan kata kerjanya adalah โ€œtolerateโ€. Toleran mengandung pengertian bersikap mendiamkan. Dalam pengertian yang lebih luas, toleransi adalah โ€œsifat atau sikap menenggang menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya toleransi agama ideologi, ras, dan sebagainya. Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut โ€œikhtimฤl, tasฤmuแธฅโ€ yang artinya sikap membiarkan, lapang dada samuแธฅa โ€“ yasmuแธฅu โ€“ samแธฅan, simฤแธฅan, samฤแธฅatan, artinya murah hati, suka berderma. Jadi, toleransi tasฤmuแธฅ beragama adalah menghargai, dengan sabar menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan mencampuradukan antara hak dan batil, suatu sikap yang sangat terlarang dilakukan seorang Muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan adalah toleransi padahal itu merupakan sikap sinkretis yang dilarang oleh Islam. Pengalaman sejarah Islam menunjukkan bahwa kehidupan yang harmonis, damai dan tenteram antar etnis dan agama bukan merupakan sesuatu yang utopis. Namun, bukan berarti bahwa keharmonisan, kedamaian dan ketentaraman tersebut 30Muhammad Fakhri, โ€œWawasan Kerukunan Beragama di Indonesiaโ€, dalam Toleransi, Vol. 1, No. 2, 2009, 1-3. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 73 tanpa konflik, karena masyarakat yang plural dengan perbedaan kepentingan, struktur sosial, ekonomi, etnis, dan agama tentunya ada terjadi gesekan yang menimbulkan riak-riak perpecahan. Maka sikap saling menghormati dan menghargai toleransi diharapkan bisa mereduksi konflik sedini Berbagai agama berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun bukan berarti tidak ada kesamaan di antara agama-agama tersebut. sekalipun banyak perbedaan antara satu agama dengan yang lainnya, namun banyak pula kesamaan di atara agama-agama tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Allah Swt berfirman yang artinya โ€œKatakanlah Hai Ahlul Kitab! Mari mencari titik temu antara kita, Kita jangan menyembah selain Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka Saksikanlah akuilah eksistensi kami bahwa kami adalah orang-orang Muslim. QS. Ali Imran [3] 64 Cara agree in disagreement adalah solusi terbaik untuk mencapai kerukunan antar umat beragama. Melalui cara ini, pemeluk agama harus meyakini bahwa agama yang dianutnya adalah paling baik dan paling benar. Namun harus diakui bahwa di samping terdapat perbedaan antara satu agama dengan agama lain, banyak pula persamaan-persamaannya. Berdasarkan pengertian itulah sikap saling menghormati dan menghargai muncul, di samping tidak boleh adanyasikap saling memaksa satu dengan yang lainnya. Dengan dasar inilah, maka kerukunan dalam kehidupan umat beragama dapat diciptakan. Dalam rangka pembinaan dan pemeliharaan kerukunan hidup umat beragama, diupayakan ada tiga kerukunan, yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah sangat diperlukan bagi terciptanya stabilitas nasional dalam rangka pembangunan bangsa. Kerukunan ini harus didukung oleh adanya kerukunan antarumat beragama dan kerukunan intern umat beragama. Kerukunan yang dimaksud bukan sekedar terciptanya suatu keadaan di mana tidak ada pertentangan dalam intern umat beragama, pertentangan antar 31Ibid., 3-6. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201774 Ahmad Choirul Rofiqumat beragama atau antar umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan yang dikehendaki adalah terciptanya hubungan yang harmonis dan kerjasama yang nyata dengan tetap menghargai adanya perbedaan antar umat beragama dan kebebasan untuk menjalankan agama yang diyakini, tanpa mengganggu kebebasan penganut agama lain. Kerukunan demikian inilah yang diharapkan sehingga dapat berfungsi sebagai pondasi yang kuat bagi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Kondisi ini pada gilirannya akan sangat bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat beragama di sila pertama Pancasila disebutkan โ€œKetuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan pasal 29 ayat 1 yang berbunyi โ€œNegara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esaโ€. Pasal 29 ayat 1 tersebut bermakna bahwa negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, syariat Hindu Bali bagi orang Bali, yang dalam menjalankannya memerlukan perantaraaan kekuasaan negara. Jika negara tidak bersedia memikul kewajiban sebagian syariat agama yang berupa hukum dunia itu, maka negara berarti telah melakukan sabotase terhadap perintah Allah Swt dan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Perundang-undangan lain di antaranya ialah [1] Undang-undang No. 1/PNPS/1965 tanggal 27 Januari 1965, tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan Penodaan Agama; [2] Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/Ber/MDN-MAG/1969 tanggal 13 September 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparat Pemerintahan dalam menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya; [3] Instruksi Menteri Agama No. 4 Tahun 1978 tanggal 11 April 1978 tentang Kebijakan Mengenai Aliran Kepercayaan; [4] Keputusan Menteri Agama No. 70 tahun 1978 tanggal 1 Agustus 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama; [5] Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1978 tanggal 15 Agustus 1978 tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga-Lembaga Keagamaan di Indonesia; [6] Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1979 tanggal 2 Januari 1979 tentang Tata Cara Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri; [7] Instruksi Menteri Agama No. 8 tahun 1979 tanggal 27 September 1979 tentang Pembinaan, Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 75 Bimbingan dan Pengawasan terhadap Organisasi dan Aliran dalam Islam yang Bertentangan dengan Ajaran Islam; [8] Keputusan Menteri Agama RI No. 35 tahun 1980 tanggal 30 Juni 1980 tentang Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama; dan [9] Surat Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981 tentang Penyelenggaraan Hari-Hari Besar pemaparan di atas akhirnya dapat dinyatakan bahwa pemahaman secara benar mengenai keimanan Abลซ แนฌฤlib dapat menjadikan seseorang yang beragama tidak mudah menuduhkan kekafiran kepada orang lain yang mempunyai agama, keyakinan, maupun mazhab berbeda. Setelah memiliki pemahaman yang tepat semacam itu, maka orang tersebut selanjutnya mampu menerapkan keyakinannya dengan teologi yang inklusif dan pada gilirannya mampu turut serta secara aktif dalam menciptakan kerukunan kehidupan beragama di lingkungan tempatnya berada. Jadi, sikap seseorang yang tidak melakukan takfฤซr secara sembarangan dapat membantu pemerintah dalam rangka upaya deradikalisasi agama untuk merealisasikan kedamaian di tengah Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn yang dilahirkan di Makkah pada 1232 H 1816 M dan wafat di Madinah pada 1304 H 1886 M menuangkan penjelasannya mengenai keimanan Abลซ แนฌฤlib di dalam karyanya yang berjudul Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abฤซ แนฌฤlib. Menurut Aแธฅmad ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn, argumentasi-argumentasi yang menunjukkan kepada keimanan Abลซ แนฌฤlib adalah bahwa Abลซ แนฌฤlib sengaja merahasiakan keimanannya kepada kenabian Nabi Muแธฅammad saw semata-mata untuk melindungi Nabi Muแธฅammad saw beserta perjuangan dakwahnya, Abลซ แนฌฤlib mendapatkan syafaโ€™at yang dijanjikan oleh Nabi Muแธฅammad saw, dan Abลซ แนฌฤlib menyatakan dirinya sebagai pengikut agama yang dianut oleh ayahnya, Abd al-Muแนญแนญalib, yakni agama แธฅanฤซf yang mengesakan Allah mempunyai pemahaman yang tepat mengenai keimanan Abลซ แนฌฤlib, maka setiap orang yang beriman dapat menerapkan keyakinan teologisnya secara inklusif karena orang tersebut dalam 32Ibid., 12- 17. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201776 Ahmad Choirul Rofiqberteologi tidak mudah melemparkan tudingan kafir kepada orang lain yang berbeda mazhab, keyakinan, maupun agama. Di sinilah terletak urgensi teologi inklusif dalam mengikis radikalisasi agama. Selain itu, orang tersebut dapat menciptakan suasana kehidupan beragama di lingkungan sekitarnya secara damai penuh dengan kerukunan sehingga terhindar dari konflik keagamaan. Pengajaran sejarah Islam dan peradaban umat Islam merupakan upaya strategis dalam memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai perkembangan dakwah Islam dan peranan tokoh-tokoh penting dalam menegakkan agama Islam. Karena posisi strategisnya tersebut, maka pengajaran sejarah Islam hendaknya disampaikan dengan pendekatan yang tepat sehingga mampu menampilkan pencerahan-pencerahan yang mengantarkan pada sikap keberagamaan yang mendatangkan kedamaian bagi seluruh lapisan masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang keyakinan dan mazhab keagamaan. DAFTAR RUJUKANAskarฤซ, Najm al-Dฤซn al-. Abลซ แนฌฤlib alayh al-Salฤm แธคฤmฤซ al-Rasลซl wa Nฤแนฃiruh แนขallฤ Allฤh alayh wa ฤ€lih wa Sallam. Najaf al-Asyraf Maแนญbaโ€™ah al-ฤ€dฤb, Thomas W. Sejarah Daโ€™wah Islam. Terj. A. Nawawi Rambe. Jakarta IAIN Jakarta, Azyumardi. โ€œIslam in South Asia Tolerance and Radicalismeโ€ makalah disampaikan pada Miegunyah Public Lecture, The University of Melbourne, 6 April Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung Mizan, Azyumardi. โ€œKembali ke Jati Diriโ€ dalam REPUBLIKA, 17 November 2016. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 2017Pemikiran Aแธฅmad Ibn Zaynฤซ Daแธฅlฤn dalam Asnฤ al-Maแนญฤlib 77 Chaq, Moh. Dliyaโ€™ul. โ€œPemikiran Hukum Gerakan Islam Radikal Studi Atas Pemikiran Hukum dan Potensi Konflik Sosial Keagamaan Majelis Mujahidin Indonesia MMI dan Jamaโ€™ah Anshorut Tauhid JATโ€ dalam Tafaqquh, Vol. 1, No. 1, Mei Aแธฅmad ibn Zaynฤซ. Al-Durar al-Saniyyah fฤซ al-Radd alฤ al-Wahhฤbiyyah. Kairo Maktabah al-Aแธฅbฤb , Aแธฅmad ibn Zaynฤซ. Asnฤ al-Maแนญฤlib fฤซ Najฤh Abฤซ แนฌฤlib. Oman Dฤr al-Imฤm al-Nawฤwฤซ, Muhammad. โ€œWawasan Kerukunan Beragama di Indonesiaโ€, dalam Toleransi, Vol. 1, No. 2, Amin. โ€œParadigma Pemikiran Tawassul dan Tabarruk Sayyid Ahmad Ibn Zaini Dahlan di Tengah Mayoritas Teologi Mazhab Wahabiโ€, Jurnal Theologia, Volume 27, Nomor 2, Desember Muhammad Khomsul. Studi Analisis Metode Penentuan Arah Kiblat dalam Kitab Maraqi al-Ubudiyah karya Syekh Nawawi al-Bantani. Skripsi IAIN Walisongo, Semarang, Khalฤซl Alฤซ. Itidฤl am Taแนญarruf Taโ€™ammulat Naqdiyyah fi Tayyฤr al-Wasaแนญiyyah al-Islฤmiyyah. Kuwait Dฤr Qirแนญฤs li al-Nasyr, Yลซsuf al-. Al-แนขaแธฅwah al-Islฤmiyyah bayna al-Juแธฅลซd wa al-Taแนญarruf. Al-Manแนฃลซrah Dฤr al-Wafฤโ€™, โ€œRadikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa Sebuah Metamorfosa Baruโ€ dalam Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni Mohamad. โ€œHarmoni Antar Paham Keagamaan Studi terhadap Konstruksi Pemikiran Elit Agama dalam Membangun Harmonisasi Antar Paham di Maduraโ€ dalam Jurnal Pelopor Pendidikan, Volume 7, Nomor 1, Desember Rusydi. Agama dan Keberagamaan Tinjauan Agama dan Upaya Meneguhkan Harmoni antar Umat Beragama Makalah dalam acara Annual International Conference on Islamic Studies AICIS ke-14 di Balikpapan Kalimantan Timur pada tanggal 21-24 November 2014. Kodifikasia, Volume 11 No. 1 Tahun 201778 Ahmad Choirul RofiqSunaryo, Agus. โ€œTeologi Inklusif Nurcholis Madjid dan Pengaruhnya terhadap Fikih Lintas Agama di Indonesiaโ€, dalam Al-Manahij, Vol 6, No 1, Zainuddin. Pendidikan Teologi Inklusif; Konsep dan Aplikasi, makalah dipresentasikan pada forum Annual International Conference on Islamic Studies AICIS ke 15. Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Departemen Agama RI di Manado pada 3-6 September 2015. Amin Farihp>According to Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan that the essence of Tawassul is part of the method of praying, and part of the methodology turn towards Allah swt, tawassul no meaning to humans or creatures ask when praying. But the essence of tawassul goal is to ask Allah swt. Tawassul not act or something แธarลซri /must be implemented so that no tawassul then his prayers are not accepted, but tawassul is as a medium, the method pray to Allah SWT. No one was Muslims who reject the validity tawassul with deeds. Whoever fasts, prayer, reading the Qur'an or charity means he has tawassul with fasting, prayers, readings, and donations. While the Tabarruk is part of the model tawassul to Allah SWT through atsar of mutabarrak people taken his blessing is considered to have the blessing because the mutabarrak to Allah SWT and because mutabarrak loved by Allah SWT like the prophets and servants who are pious. So the essence of tabarruk goal is to ask Allah SWT through his beloved servant. As tabarruk with shaleh people so because they believe in the primacy and closeness to Allah SWT to continue to believe their inability to give the goodness or badness refused except by permission of Allah SWT. Menurut Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan bahwa hakekat tawassul adalah bagian dari metode berdoa, dan bagian dari metodologi menghadap kepada Allah swt, tawassul tidak mempunyai arti meminta kepada manusia atau makhluk ketika berdoa. Namun hakekat tujuan dari tawassul adalah memohon kepada Allah swt. Tawassul tidaklah perbuatan atau sesuatu yang แธarลซri /wajib dilaksanakan sehingga kalau tidak tawassul maka doanya tidak diterima, namun tawassul adalah sebagai media, metode berdoa kepada Allah SWT. Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca Al-Qur'an atau bersedekah berarti ia telah ber tawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya. Sedang Tabarruk adalah bagian dari model tawassul kepada Allah SWT melalui atsar dari mutabarrak orang yang dialap berkahnya dianggap memiliki keberkahan karena keยญdekatan mutabarrak kepada Allah SWT dan karena mutabarrak dicintai oleh Allah SWT seperti para Nabi dan Hamba-hamba yang sholeh. Maka hakekat tujuan dari tabarruk adalah memohon kepada Allah SWT lewat hamba yang dicintaiNYA. Adapun tabarruk dengan orang-orang maka karena meyakini keutamaan dan kedekatan mereka kepada Allah dengan tetap meyakini ketidakmampuan mereka memberi kebaikan atau menolak keburukan kecuali atas izin Allah SWT. Disamping karangan-karangan As-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlanโ€”rahimahullahโ€”lainnya yang banyak sekali jumlahnya yang tidak disebutkan di dalam buku ini. Setelah Sayyid Abdullah Dahlanโ€”rahimahullahโ€”memperoleh ijazah pengajaran, dia ditunjuk sebagai imam di Masjid Al-Haram dan pengajar di halaqah (majelis) bab "As-Salam" di Masjid Al . Bernama Ahmad bin Zaini bin Utsman Dahlan, seorang ulama yang memiliki jalur nasab mulia bersambung kepada wali agung pada zamannya, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani. Dari beliau terus bersambung hingga memuncak kepada Sayyidina Hasan, cucu Rasulullah. Dilahirkan pada tahun 1232 H, hidup di bawah didikan orang tuanya, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menghafal Al-Qur'an hingga matang. Kemudian dilanjutkan dengan menghafal berbagai macam kitab dari berbagai cabang keilmuan. Dalam bidang Fikih Syafi'i, beliau menghafal nazam Zubad yang berjumlah lebih dari 1000 bait; dalam ilmu Nahwu beliau menghafal Alfiyah Ibnu Malik; dalam ilmu Balaghah beliau menghafal Uqud al-Juman; dan menghafal Syatibiyyah dalam ilmu Qiraat. Jika dihitung, hafalan yang dimiliki oleh Sayyid Ahmad ketika masih belajar lebih dari 5000 bait. Belum dihitung dari hafalan sejarah yang Sayyid Ahmad miliki, yang mana para ulama mengakui pehamanan dan riwayat sejarah yang beliau sampaikan. Ilmu-ilmu di atas tidak beliau peroleh sendiri, melainkan dibawah naungan guru yang mumpuni. Beliau belajar dengan banyak guru, diantara guru yang mempengaruhi keilmuan beliau adalah Syekh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi W. 1265 H. Baca juga Syekh Ihsan Jampes Kediri Terdzalimi Syekh Ustman bin Hasan Ad-Dimyathi, berasal dari Mesir. Beliau pindah ke Makkah sebab mimpi yang beliau peroleh di makam Sayyidina Husein. Beliau bercerita "Ketika saya sedang berada di makam Sayyidina Husein, aku merasa ngantuk, keadaanku antara bangun dan tertidur. Seketika, aku melihat diriku sedang berada di Makkah." Beliau melanjutkan, "Di sana, aku menanam sebuah pohon. Setelah aku tinggal beberapa waktu, pohon tersebut bercabang dan memenuhi Masjid al-Haram, berbuah dan memberi manfaat kepada masyarakat sekitar.โ€ Setelah mimpi tersebut, Syekh Utsman pergi ke Makkah dan membuka pengajian. Para santri dan masyarakat memenuhi pengajian tersebut. Namun, tidak ada yang dapat mengambil manfaat sebanyak apa yang diambil oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Dari sinilah, Syekh Ustman paham makna dari mimpinya di makam Sayyidina Husein bahwa yang dimaksud dari pohon yang bertumbuh lebat dan berbuah sehingga masyarakat mengambil manfaat adalah sosok Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang akan menyebarkan ilmu hingga ujung dunia. Mimpi dan maknanya benar-benar terwujud. 3 tahun sebelum wafat, Syekh Utsman memerintahkan Sayyid Ahmad untuk menggantikannya mengajar Shahih Bukhari dalam ilmu Hadits dan Hasyiah Ash-Shabban dalam ilmu Nahwu. Sayyid Ahmad juga belajar kepada Masyaikh al-Azhar, antara lain Syekh Abdullah Asy-Syarqawi W. 1227 H, Syekh Amir Al-Kabir W. 1232 H, Syekh Muhammad Asy-Syanwani W. 1233 H, dan guru-guru yang lainnya. Baca juga Bahaya Memahami Hukum Langsung dari Hadits Selain fokus belajar dan menghafal ilmu-ilmu syariat, beliau tidak melupakan inti dari ajaran Islam; yaitu ilmu Tasawuf. Sayyid Ahmad meniti jalan para auliya dibawah didikan sang guru Syekh Utsman bin Dimyati. Tidak hanya Syekh Utsman, beliau juga mengambil talqin zikir dari para habaib yang beliau temui, di antaranya Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi, Habib Umar bin Abdullah Al-Jufri, Habib Abdurrahman bin Ali As-Saqaf. Karena keterkaitan dengan para habaib tersebut, Sayyid Ahmad memiliki hubungan yang sangat kuat dengan Alawiyyin. Hubungan erat ini membuat Sayyid Ahmad menghafal semua wirid para habaib, dan memerintahkan murid-muridnya agar terus membacanya dan tidak menyepelekan wirid tersebut. Sayyid Ahmad juga memiliki cinta akan shalawat kepada Nabi Muhammad. Ini dibuktikan ketika beliau menemukan Dalail Khairat, semenjak beliau mengetahui buku kumpulan shalawat tersebut, beliau terus menerus membacanya, dan dijadikan wirid harian. Sebab didikan guru-guru beliau, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menjadi sosok pewaris akhlak kenabian. Menurut kisah yang diceritakan murid-muridnya, Sayyid Ahmad selalu mendoakan kebaikan bagi musuhnya. Sayyid Ahmad juga rajin memberikan sedekah kepada anak yatim, sehingga beliau tidak pernah membiarkan uang tinggal di dalam rumahnya. Sayyid Ahmad juga sangat mempersedikit makan, beliau hanya makan satu kali dalam satu hari dengan beberapa suapan. Bahkan di akhir hayatnya, beliau hanya mengisi perut dengan air zamzam tanpa makanan yang lain. Dalam soal istirahat pun sama, beliau tidur hanya 2 jam perhari dalam keadaan duduk, orang yang melihat keadaan tidurnya akan mengira beliau tidak tertidur. Di samping mujahadah yang begitu luar biasa, beliau memiliki semangat yang tinggi dalam mengajar dan memberi manfaat kepada para santri. Pada tahun 1278, beliau mengunjungi Madinah al-Munawwarah. Baca juga Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Fatwa Menjual Ayam ke Orang Cina Di Madinah beliau mengisi semua waktunya dengan mengajar. Pada waktu Subuh, beliau mengajar Minhaj al-Qawim dan Alfiyyah Ibnu Malik. Setelah Dzuhur beliau mengajar Tahzib dan Al-Kafrawi. Setelah Ashar beliau mengajar Hasyiah Imam al-Bajuri dalam ilmu Bayan, Mantik dan Kalam. Setelah Maghrib beliau membaca kitab Asy-Syifa karya Al-Qadhi 'Iyadh. Semangat beliau dalam mengajar menjadi magnet para santri untuk belajar, termasuk dari Indonesia. Di antara murid-muridnya banyak yang menjadi kyai besar dan tokoh di tanah air. Sebut saja KH. Hasyim Asy'ari, pendiri organisasi Islam terbesar di dunia; Nahdlatul Ulama. Ikut serta juga Sayyid Ustman bin Yahya yang dikenal dengan Mufti Betawi, dan murid-murid yang lain. Dengan kesibukannya mengajar dan belajar, beliau ternyata tetap produktif dalam menulis. Menurut sebagian murid beliau, Sayyid Ahmad menulis lebih dari 5 lembar dalam sehari. Di antara karya-karya beliau yang sudah dicetak dan tersebar di Indonesia adalah Syarah Jurumiyyah yang dikenal dengan Mukhtasar Jiddan. Beliau juga menulis sebuah kitab yang membantah pemikiran Wahabi yang beliau namai dengan Ad-Durar as-Saniyyah, kitab ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan sangat mencolok dalam ilmu sejarah. Kebanyakan karya tulis beliau didominasi oleh ilmu sejarah, antara lain kitab Tarikh Andalusi, Tarikh Jadawil, Tarikh Khulafaur Rasyidin, dan kitab sejarah yang lainnya. Baca juga Imam Asy-Syadzili, Perekam Jejak Sang Guru Maulaya Abdussalam Bin Masyisy Kitab terakhir yang beliau tulis adalah kitab Taisir al-Uhsul ila Tashil al-Wushul. Di akhir umur beliau, Sayyid Ahmad memerintahkan murid-muridnya untuk memanfaatkan betul kitab tersebut. Menurut Sayyid Ahmad, dengan kitab yang terakhir beliau tulis tadi, murid-muridnya tidak perlu lagi membaca kitab Minhaj karya Imam An-Nawawi, dan Kitab Tuhfah karya Ibnu Hajar. Secara keseluruhan, semua umur beliau digunakan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat, dan beribadah kepada Allah. Tidak pernah menyia-nyiakan waktu meskipun hanya sedikit. Menjelang waktu wafat beliau, pada tahun 1303 Sayyid Ahmad Zaini Dahlan mengajak semua keluarganya untuk ziarah ke Madinah al-Munawwarah. Dalam keadaan yang kurang prima, beliau dan keluarga berangkat dari Makkah dan sampai di Madinah pada tanggal 7 Muharram. Bila tiba di Madinah, beliau selalu berziarah ke makam Nabi. Hingga suatu hari beliau jatuh sakit, meskipun demikian, Sayyid Ahmad tetap berziarah, namun kali ini di hadapan makam beliau berkata, "Semenjak 20 tahun aku meminta kepada Allah agar aku wafat disisi makam kakekku, dan kini aku telah siap." Banyak ulama datang membesuk beliau yang tengah sakit. Mereka tidak melihat keadaan Sayyid Ahmad kecuali beliau dalam keadaan senang dan terus tersenyum, disertai dengan lisan yang terus berzikir dan memohon ampun kepada Allah. Baca juga Kitab โ€œFutรปh al-Ilรขhiyyahโ€ Karya Syaikh Siraj Garut Makkah Bertahun 1925 2 hari sebelum wafat, beliau memerintahkan keluarganya untuk menghadirkan berbagai macam wewangian, kemudian beliau menciumnya. Menurut Sayyid Ahmad, wewangian ini akan memudahkan ruh untuk keluar. Pada awal malam hari kewafatan, beliau memerintahkan murid-muridnya agar tidak pergi dari sisi beliau. Karena Sayyid Ahmad ingin wafat dengan didampingi oleh murid-muridnya. Sayyid Ahmad juga memerintahkan agar di samping tubuhnya diletakkan sebuah kursi. "Letakkan kursi di sampingku untuk Tuanku Muhsin salah satu nama Nabi Muhammad,โ€ pesannya. Seakan beliau mengetahui, bahwa Nabi Muhammad akan menghadiri waktu wafat beliau. Dalam keadaan tersebut, Sayyid Ahmad terus menerus menyebut Allah, hingga ruh beliau keluar dari jasadnya untuk menghadap kepada Tuhannya. Tepat pada jam 10 hari Minggu, 7 Shafar tahun 1304 H. Khusus untuk Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, ini merupakan ringkasan dari kitab Nafhah ar-Rahman karya Syekh Abi Bakr Syatha Ad-Dimyathi W. 1310 H
Dilansirdari syaichona.net, beberapa orang yang sempat menjadi gurunya selama di Mekkah, antara lain Syekh Nawawi Al Bantany, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lainnya. Empat tahun di Mekkah, Kholil menggantungkan hidupnya pada penjualan karya-karya tulisnya.
๏ปฟSayyid Ahmad Zayni Dahlan al-Makkiโ€™ ash-Shafiโ€™i [d. 1304 AH / 1886 CE] Sayyid Ahmad ibn Zayni Dahlan was of the eminent scholars of his time and the Shafiโ€™i mufti of Makkah during the second half of the 13th century. He was born in 1231AH. He lived when the first printing press was established in Makkah, which resulted in a number of his works being printed. He wrote chiefly on fiqh and history. Aside from his writings, his major contribution to the madhhab came in the form of his numerous students, including Sayyid `Alawi ibn Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shatta, Shaykh `Umar Ba Junayd, and Sayyid Husayn ibn Muhammad al-Hibshi. Some of the works published by the Sayyid include, 1- Sharhu Matn-il-Alfiyyah; an explanation of the text of al-Alfiyyah in the Arabic language 2- Tarikh-ud-Duwal-il-Islamiyyah bil-Jadawil-il Mardiyyah; a history of the Islamic states 3- Fath-ul-Jawad-il-Mannan alal-Aqidat-il-Musammati bi Fayd-ir-Rahman fi Tajwid-il-Qurโ€™an; a summary of the tajwid rules of recitation of the Qurโ€™an 4- Khulasat-ul-Kalam fi Umaraโ€™-il-Balad-il-Haram; the history of the rulers of Makkah 5- Al-Futuhat-ul-Islamiyyah; a history of the opening of the different countries by Muslims 6- Tanbih-ul-Ghafilin, Mukhtasaru Minhaj-il-Abidin; a summary exposing the good manners of the worshippers 7- Ad-Durar-us-Saniyyah fir-Raddi alal-Wahhabiyyah; a treatise refuting the Wahhabiys 8- Sharh-ul-Ajurrummiyyah; an explanation of an Arabic grammar text 9- Fitnat-ul-Wahhabiyyah; [this booklet] a treatise of the tribulations inflicted by the Wahhabiyyah. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki gives his sanad to Sayyid Ahmad Dahlan in his abridged book of Ijaza, Iqdatu l-Farid as follows, From his father, Sayyid Alawi al-Maliki from Sayyid Abbas al-Maliki from Sayyid Ahmad Dahlan. Below is a scanned piece from the Iqdatu l-Farid. Sayyid Ahmad Zayni Dahlan May Allah be pleased with him passed away in Medina in the month of Muharram of 1304 SayyidAhmad Zaini Dahlan merupakan seorang Syeikhul Islam, Mufti Haromain dan Pembela Ahlus Sunnah Wal Jama`ah. Berasal dari keturunan yang mulia, ahlul bait Rosulullah Saw. Silsilah beliau bersambung kepada Sayyidina Hasan, cucu kesayangan Rasulullah SAW.
Daftar Isi Profil Sayyid Ahmad Zaini Dahlan1. Kelahiran2. Wafat3. Pendidikan4. Murid-Murid5. Mendapatkan Isyarat Ilahi6. Karya-KaryaKelahiranSayyid Ahmad Zaini Dahlan lahir pada tahun 1226 H /1811 M, riwayat lain lahir Jumadil Awwal 1233 H atau bertepatan pada tanggal 9 Maret 1818 M di Ahmad Zaini Dahlan adalah seorang Syeikhul Islam, Mufti Haromain dan Pembela Ahlus Sunnah Wal Jama`ah. Berasal dari keturunan yang mulia, ahlul bait Rosulullah beliau bersambung kepada Sayyiduna Hasan, cucu kesayangan Rasulullah Saw. Berdasarkan kitab Taajul-A`raas, juz 2, halaman 702 karya al-Imam al-A`llaamah al-Bahr al-Fahhamah al-Habib A`li bin Husain bin Muhammad bin Husain bin Ja`far al-A`ththoos. Nasabnya adalah seperti berikutSayyid Ahmad bin Zaini Dahlan bin Ahmad Dahlan bin Utsman Dahlan bin Niโ€™matUllah bin Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdullah bin Utsman bin Athoya bin Faaris bin Musthofa bin Muhammad bin Ahmad bin Zaini bin Qaadir bin Abdul Wahhaab bin Muhammad bin Abdur Razzaaq bin Ali bin Ahmad bin Ahmad Mutsanna bin Muhammad bin Zakariyya bin Yahya bin Muhammad bin Abi Abdillah bin al-Hasan Sayyidina Abdul Qaadir al-Jilani, Sulthanul Awliya bin Abi Sholeh bin Musa bin Janki Dausat Haq bin Yahya az-Zaahid bin Muhammad bin Daud bin Muusa al-Juun bin Abdullah al-Mahd bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sibth bin Sayyidinal-Imam Ali & Sayyidatina Fathimah al-Batuul rodliyallahu anhuma wa `anhum ajma`in binti Khatam an Nabiyyin Habib Rabbi alโ€™ alamin Sayyid Wa Maulana Muhammad bin Abdillah Nurin min nurillah, Allahumma Shalli wa salim wa Barik Ahmad Zaini Dahlan wafat pada malam Ahad 4 Safar 1304 H /1886 M. Jenazah beliau disemayamkan di pekuburan Baqi', di antara kubah para keluarga dan putri Nabi akhir hayatnya, tepatnya pada akhir bulan Dzulhijah tahun 1303, ia memilih pergi ke kota Madinah. Maksudnya hendak bermukim beberapa lama sambil mengajar di sana. Namun di Madinah ia lebih memfokuskan diri beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tiap pagi dan sore ia secara rutin menziarahi makam datuknya, Rasulullah wafat dan tempat wafat Sayyid Ahmad telah disyaratkan oleh Habib Abu Bakar bin Abdurrahman bin Syihab melalui 9 bait-bait syair yang ia berikan kepada Sayyid ahmad sendiri, setahun sebelum ia Ahmad Zaini Dahlan mendapatkan pendidikan dasar dari ayahandanya sendiri sampai berhasil menghafalkan Al Qur'an dan beberapa kitab matan Alfiyah, Zubad dan lain-lain. Kemudian ia menuntut ilmu di Masjidil Haram kepada beberapa Syaikh. Al Allamah Syaikh Utsman bin Hasan Ad Dimyathi al Azhari merupakan "Syaikh Fath" yang banyak memepengaruhi menimba ilmu di kota kelahirannya, beliau kemudian dilantik menjadi mufti Mazhab Syafii, merangkap Syeikh al- Haram yaitu โ€œpangkatโ€ ulama tertinggi yang mengajar di Masjid al-Haram yang diangkat oleh Syeikh al-Islam yang berkedudukan di Istanbul, Turki. Beliau sangat terkenal, dan berawal dari itulah maka beliau diberi berbagai gelar dan julukan antaranya al-Imam al-Ajal Imam pada waktunya, Bahrul Akmal Lautan Kesempurnaan, Faridu Ashrihi wa Aawaanihi Ketunggalan masa dan waktunya, Syeikhul-Ilm wa Haamilu liwaaihi Syeikh Ilmu dan Pembawa benderanya Hafidzu Haditsin Nabi โ€“ Shallalahu Alaihi wa Sallam โ€“ wa Kawakibu Sama-ihi Penghafal Hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Bintang-bintang langitnya, Kaโ€™batul Muriidin wa Murabbis Saalikiin Tumpuan para murid dan Pendidik para salik.Sayyid Ahmad pernah mendapatkan ijazah dan ilbas dari Habib Muhammad bin Husein Al Habsyi, mufti Makkah. Ia juga mendapatkan sanad dari Habib Umar bin Abdullah al Jufri dan Habib Abdur Rahman bin Ali Assegaf. Sebagai ilmuwan sejati ia mendalami fiqh Mazhab Imam Hanafi kepada Al Allamah Sayyid Muhammad Al Katbi. Tetapi tidak hanya fiqh Mazhab Hanafi. Pada Akhirnya ia mampu menguasai empat mazhab dengan sempurna. Setiap kali ada pertanyaan ditujukan kepadanya, ia senantiasa menjawab dengan dasar empat mazhab tersebutAlhasil, jika ada permasalahan sulit dan para ulama tak mendapatkan jalan keluar, sering kali Sayyid Ahmad menjadi pemecah kebuntuan. Karena ketinggian ilmunya. Sayyid Ahmad mendapatkan kepercayaan sebagai pengajar tertinggi di Masjidil Haram. Padahal, kala itu untuk menjadi pengajar seseorang harus lulus uji kemampuan kurang lebih 15 macam disiplin ilmu oleh para ulama besar di bidangnya mulia Sayyid ahmad, tidaklah membuat Sosok beliau besar kepala. Ia tetap mengedepankan musyawarah dan diskusi bersama ulama lain dalam menyikapi permasalahan beliau Sayyidi Abu Bakar Syatho ad-Dimyathi dalam โ€œNafahatur Rahmanโ€ antara lain menulis โ€œSayyid Ahmad bin Zaini Dahlan hafal al-Qur`an dengan baik dan menguasai 7 cara bacaan Qur`an 7 qiraah. Beliau juga hafal kitab โ€œasy-Syaathibiyyahโ€ dan โ€œal-Jazariyyahโ€, dua kitab yang sangat bermanfaat bagi pelajar yang hendak mempelajari qiraah 7. Kerana cinta dan perhatiannya pada al-Qur`an, beliau memerintahkan sejumlah qari untuk mengajar ilmu ini, beliau khawatir ilmu ini akan hilang jika tidak diajar terus.โ€Murid-MuridDiantara murid-murid beliau yang terkenal ialah Sayyid Abu Bakar Syatho ad-Dimyathi rhm. Pengarang โ€œIโ€™anathuth-Tholibin Syarh Fath al-Muโ€™in karya al-Malibaryโ€ yang masyhur, Sayyidil Quthub al-Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas rhm, Sayyid Abdullah az-Zawawi Mufti Syafi`iyyah, Mekah. Sayyid Abu Bakar Syatho ad-Dimyathi telah mengarang kitab bernama โ€œNafahatur Rohmanโ€ yang merupakan manaqib atau biografi kebesaran gurunya Sayyid Ahmad ulama-ulama Nusantara yang pernah berguru dengan ulama besar ini ialah1. Syeikh Nawawi bin Umar Al-Jawi Al-Bantani Jawa Barat2. Syeikh Abdul Hamid Kudus Jawa Timur3. Syeikh Muhammad Khalil al-Maduri Jawa Timur4. Syeikh Muhammad Saleh bin Umar, Darat Semarang5. Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah al-Minankabawi Sumatra Barat6. Syeikh Hasyim Asyโ€™ari Jombang Jawa Timur7. Sayyid Utsman bin aqil bin Yahya Betawi DKI Jakarta8. Syeikh Arsyad Thawil al-Bantani Jawa Barat9. Tuan guru Kisa-i Minankabawi [atau namanya Syeikh Muhammad Amrullah Tuanku Abdullah Saleh. Beliau inilah yang melahirkan dua orang tokoh besar di dunia Melayu. Yang seorang ialah anak beliau sendiri, Dr. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah. Dan yang seorang lagi ialah cucu beliau, Syeikh Abdul Malik Karim Amrullah HAMKA10. Syeikh Muhammad bin Abdullah as-Shuhaimi11. Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathoni12. Tuan Hussin Kedah Malaysia13. Syeikh Ahmad Yunus Lingga,14. Datuk Hj Ahmad Ulama Brunei Dar as-Salam15. Tok Wan Din, nama lengkapnya Syeikh Wan Muhammad Zainal Abidin al-Fathoni,16. Syeikh Abdul Qadir al-Fathoni Tok Bendang Daya II,17. Haji Utsman bin Abdullah al-Minankabawi, Imam, Khatib dan Kadi Kuala Lumpur yang pertama,18. Syeikh Muhammad al-Fathoni bin Syeikh `Abdul Qadir bin `Abdur Rahman bin `Utsman al-Fathoni19. Sayyid `Abdur Rahman al-Aidrus Tok Ku Paloh20. Syeikh `Utsman Sarawak21. Syeikh Abdul Wahab RokanMendapatkan Isyarat Ilahi"Suatu hari ketika aku sedang berziarah ke makam Sayyidina Husein di Mesir, antara tidur dan terjaga, aku merasakan diriku berada di Makkah. Kemudian aku memasuki Masjidil Haram dan menanam pohon. Ajaibnya pohon itu tumbuh dengan cepat dan cabang-cabangnya memenuhi Masjidil Haram dan berbuah banyak." Begitulah cerita Syaikh Utsman bin Hasan, guru Sayyid itu bermimpi, dia adalah ulama terkemuka di Mesir. Setelah bermimpi demikian, tanpa ragu lagi ia segera berpindah ke Makkah dan membuka Majlis ta'lim di Masjidil Haram yang langsung diikuti banyak orang termasuk Sayyid Ahmad. Selang beberapa lama setelah melihat potensi besar dan kepatuhan Sayyid Ahmad kepadanya, Syaikh Utsman mulai mengeti ta'bir Tafsir mimpinya."Insya Allah kamulah Sayyid Ahmad, pohon yang aku lihat dalam mimpi. dan darimulah akan menyebar ilmu Syariat hingga akhir Zaman," ujar Syaikh Utsman kepada Syaikh Ahmad. Tiga tahun sebelum Meninggal dunia, Syaikh Utsman menyerahkan urusan pengajaran dan majelis-majelisnya di Masjidil Haram kepada Sayyid Ahmad mempunyai metode pengajaran yang sangat efektif. Satu metode yang belum pernah dipraktekan para ulama sebelumnya ialah, ia senantiasa mengajarkan ilmu-ilmu dasar terlebih dahulu sebelum mengajarkan kitab-kitab besar. Ia mengajarkan hukum-hukum yang bersifat detil furu' terlebih dahulu sebelum memberikan dasar hukum yang merupakan teori umum ushul. Metode pendidikan akhlaknya adalah dengan memberikan teladan dalam ucapan ddan tingkah semangat tinggi ia selalu memperhatikan keadaan membersihkan mereka dari sifat jelek dengan Riyadhah yang sesuai kondisi tiap individu, lalu menghiasi mereka dengan akhlak-akhlak yang mulia. Jika ia melihat salah seorang muridnya mempunyai suatu kelebihan dalam satu bidang tertentu, ia menyuruhnya mengajar murid di bawahnya. Berkat metode inilah, dengan singkat, Masjidil Haram dipenuhi para penuntut ilmu dari penjuru dunia, dan lahirlah ulama-ulama besar yang menyebarkan ilmunya ke seluruh pelosok itu, ia juga mempunyai perhatian terhadap nasib orang-orang yang berada di daerah pelosok. Khususnya mereka yang kurang peduli terhadap urusan pendidikan. Di sela-sela kesibukannya mengajar di Masjidil Haram, ia acapkali pergi ke pelosok-pelosok pegunungan sekitar Makkah untuk mengajarkan ilmu Al Qur'an dan ilmu-ilmu dasar yang merasa tak mampu lagi bepergian jauh, ia menugaskan beberapa murid untuk mengantikannya. Ia pun menulis Syarah "Al Ajrumiyah" dengan cara yang dirasa akan memudahkan orang-orang awam dalam memahami gramatika bahasa arab. Ia membegikan buah penanya itu secara perjuangannya tersebut, ilmu syariat tersebar merata sampai ke pelosok-pelosok Jazirah Arab. Di bawah asuhannya, tercatat sekitar 800 anak penduduk pelosok Arab yang berhasil menghafalkan Al Qur'an, dan sebagian lainnya memfokuskan diri mempelajari ilmu fiqh, ada pula yang menekuni ilmu lughah sastra arab.Karya-KaryaDi sela-sela kesibukannya mengajar dan berdakwah, Sayyid Ahmad juga produktif menghasilkan karya tulis yang berkualitas. Di antara kitab-kitab karyanya adalah Bidang Tassawuf, Taysirul Ushul wa Tashilil Wushul, ringakasan Risalah Qusairiyah. Juga syarah Syaikhul Islam, ringkasan Minhajul Abidin karya Al Ghazali, Al Lujainul Masbuk yang merupakan ringkasan bab syukur dalam kitab Ihya Ulummudin' Karya Al bidang tarikh atau sejarah karya-karyanya adalah As Siratun Nabawiyah, Al Futuhatul Islamiyah, Al Fathul Mubin fi siratil Khulafir Rasyidin, ringkasan masrau' Rawi tentang manaqib Bani Alawi. Juga Ad-Durruts Tsamin yang berisikan biografi para pemimpin kekhalifahan Islam, Bahaul'ain fi Binail Ka'bah wa Maatsaril Haramain, Irsyadul 'Ibad fi Fadhailil Jihad, Ad-Duras Saniyah Fir radd' Alal Wahabiyah yang berisikan argumen dan dalil-dalil yang menentang aliran Wahabi, dan Asnal Mathalib yang bersikan dalil selamatnya paman Nabi Muhammad Saw, Abu bidang tauhid ia menulis Fathul Jawwad, Syarah kitab Faidhhur Rahman, dan sebuah risalah yang membahas perbedaan mendasar antara pahamm Ahlus Sunnah dengan selainnya. dalam bidang Nahwu Syarah Al-Ajrumiyah, Syarah Alfiyah, dan sebuah risalah yang membahas bacaan "Basmala". Dalam bidang ma'ani dan bayan, telah ditulisnya sebuah kitab As-Samarqandyi dan Hasyiyah kitab Zubad karya Ibnu Ruslan, Hasyiyah kitab Mukhtashar Iydhah karya Syaikh Abdur Rauf dan kumpulan fatwa yang merupakan jawaban atas kumpulan syair. Itu semua menunjukkan kedalaman ilmu pengetahuannya dalam segala bidang. Beliau mempunyai risalah khusus yang berisi shighat shalawat.
Menurutriwayat, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan lahir di Makkah pada 1232H/1816M. Selesai menimba ilmu di kota kelahirannya, ia kemudian dilantik menjadi mufti Mazhab Syafi'i, merangkap Syeikh al- Haram yaitu "pangkat" ulama tertinggi yang mengajar di Masjid al-Haram yang diangkat oleh Syeikh al-Islam yang berkedudukan di Istanbul, Turki. Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, beliau lahir dari keluarga yang menjaga tradisi keislaman. Berasal dari keturunan Sayyid dari jalur Sayyidina Hasan cucu Rasulullah. Kehadiran Sayyid Ahmad Zaini Dahlan memiliki arti penting dalam jaringan para ulama khususnya Indonesia, karena hampir seluruh para ulama besar sesudahnya berada pada jejaring murid dari murid Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Sayyid Zaini Dahlan demikian beliau biasa disebut, mengawali belajarnya kepada ayahnya yang dikenal seorang yang taat dan menjunjung tinggi ajaran Datuknya Rasulullah. Setelah menghafal berbagai macam bait-bait matan dari berbagai ilmu, Sayyid Zaini Dahlan kemudian mempelajari al-Qurโ€™an dengan berbagai cabang keilmuan yang ada di dalamnya. Beliau disebutkan oleh Sayyid Bakhri Syatta pengarang Kitab Iโ€™anatuththalibin yang juga muridnya, bahwa Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menguasai berbagai Qiraโ€™at, bahkan menghafal dengan Mutqin Matan Syatibiyah dan Jazariyah yang merupakan panduan dalam memahami ilmu bacaan al-Qurโ€™an. Semenjak kecil Sayyid Ahmad Zaini Dahlan telah dikenal ketekunannya dalam menuntut ilmu pengetahuan. Selain cerdas, saleh, beliau juga sangat bersungguh-sungguh dalam memahami berbagai cabang keilmuan yang diajarkan oleh para ulama di Kota Makkah sehingga tidak mengherankan bila kemudian beliau menjadi seorang ulama besar pada masanya, dan bahkan menjadi Syekhul Islam artinya seseorang yang memiliki kompetensi berbagai cabang keilmuan yang mumpuni. Baca Juga Syekh Abdul Karim al-Bantani; Mursyid Terekat dan Pejuang Kemerdekaan Tentu kealiman Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan tidak bisa terlepas dari didikan para ulama Kota Makkah ketika itu. Di antara ulama yang dianggap sebagai syekh futuh beliau atau guru yang banyak berperan dalam pengembangan keilmuan beliau adalah Syekh Usman bin Hasan Dimyathi al Azhari. Syekh Usman ialah pemuka ulama Mesir yang mendapatkan ilham untuk datang ke Kota Makkah dan membuka halakah keilmuan, dan salah satu murid yang mewujudkan ilham tersebut adalah Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Karena dari Syekh Sayyid Zaini Dahlan kemudian membentuk jejaring ulama yang sangat banyak, bahkan beliau bisa digolongkan sebagai Syekhul Masyayikh atau Mahaguru ulama di Nusantara. Banyak sekali ulama dari berbagai wilayah yang kemudian belajar dan menimba ilmu dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Sebut saja di antara para ulama tersebut adalah Syekh Sayyid Abu Bakar Syatta al-Dimyathi, Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Saleh Darat Semarang, Syekh Abdul Hamid Kudus, Syekhuna Cholil Bangkalan, Sayyid Abdullah Zawawi, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Tuan Kisai Syekh Amrullah, Sayyid Utsman Mufti Batavia, Syekh Sayyid Ali Al-Maliki, Syekh Abdul Wahab Basilam, dan beberapa ulama dari Fathani Thailand seperti pengarang Kitab Mathlaโ€™ul Badrain, Aqidatun Najiโ€™in dan lain-lain. Bahkan beberapa ulama besar Aceh diperkirakan berguru kepada beliau adalah Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee, Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Pantee Kulu, Teungku Chik Pantee Geulima, karena masa kedatangan para ulama Aceh tersebut, ketika puncak karier ilmiahnya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Adapun Syekh Abdul Wahab Tanoh Abee yang dikenal dengan Teungku Chik Tanoh Abee Qadhi Rabbul Jalil kerajaan Aceh disebutkan selain mengambil ijazah sanad dari Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, juga sempat berguru kepada gurunya Sayyid Ahmad Zaini yaitu Syekh Utsman bin Hasan al Dimyathi. Karena usia antara kedua orang ulama itu berdekatan. Syekh Sayyid Zaini Dahlan diperkirakan lahir tahun 1816 dan wafat pada tahun 1886. Pada saat beliau menjadi Mufti Syafiโ€™i untuk kota Makkah, ada ulama besar dari India yang mencari suaka politik ke Makkah yaitu Syekh Rahmatullah Hindi. Syekh Rahmatullah Hindi inilah sosok pendiri Madrasah Saulatiah yang banyak mengkader ulama-ulama di Indonesia. Bahkan pendiri Darul Ulum Makkah juga lulusan Madrasah Saulatiah tersebut. Selain sebagai ulama yang banyak mengkader para ulama generasi sesudahnya, Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga seorang ulama penulis. Banyak kitab-kitab yang beliau tulis tersebar ke seluruh penjuru dunia, baik dalam bidang sejarah, fikih, tauhid, tasawuf dan ilmu gramatika Arab. Salah satu karyanya adalah Kitab Mukhtasar Jiddan yang merupakan ulasan tuntas untuk Matan Jurumiyah. Kitab Mukhtasar merupakan kitab yang membahas ilmu nahwu, dimana Syekh Sayyid Zaini Dahlan di bagian awal kitab menyebutkan kisah asal muasal ilmu nahwu. Di bagian awal kita tersebut juga beliau mengulas tentang mabadiโ€™ asyarah atau pengantar awal sebelum mengaji ilmu nahwu secara mendalam. Dari tulisannya nampak beliau seorang yang berfikir sistematis dan langsung ke persoalan. Hal yang menarik dari Kitab Mukhtasar Jiddan beliau di bagian akhir juga menceritakan secara sekilas tentang penyusunan Matan Jurumiyah yang banyak disyarah oleh para ulama dari generasi ke generasi. Baca Juga Raudhah al-Hussรขb fรฎ Aโ€™mรขl al-Hisรขb, Manuskrip Matematika Islam Nusantara Karangan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau Pada masa hidupnya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga puncak dari pergerakan Wahabiyah di Kota Suci Makkah. Dan beliau termasuk ulama yang banyak membantah kekeliruan pemahaman dari aliran tersebut. Beliau dengan gamblang dan jelas mengkritisi hal-hal yang meleset dari pemahaman Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebagai seorang ulama, Syekhul Islam dan Mufti Syafiโ€™i, Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan telah menyelesaikan risalah sebagai Waratsah Nubuwah. Beliau juga seorang ulama mujaddid yang telah mentajdid agama dengan murid-muridnya yang tersebar di seluruh dunia Islam. Setelah berbagai kiprah yang besar, pada tahun 1886 dalam usia sekitar 70 tahun wafatlah ulama besar tersebut di Madinah.[] Rahimahullah Rahmatan Wasiโ€™atan. Alfaatihah. Jikadilihat dari periode kepergiannya ke Makkah, tampaknya Ahmad Rifangi satu angkatan dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan (1816-1886 M), Syekh Ahmad Khatib Sambas (1803-1875 M) dan Syekh Sayyid Abdullah untuk mengurusi ordonansi haji di Indonesia. hal ini terus berlangsung hingga tahun 1880-an. Ikut campurnya Turki juga bisa dilihat dari Di kalangan pesantren, nama Sayyid Ahmad Zaini Dahlan sungguh masyhur sebagai pembela ajaran Ahlussunnah wal Jamaโ€™ah Aswaja. Lahir tahun 1232 H atau 1816 M di kota Makkah, beliau kelak menjadi mufti terakhir Haramain Makkah dan Madinah pada zaman kesultanan Turki Utsmani. Beliau merupakan keturunan Al-Quthb ar-Rabbani Syaikh Abdul Qodir al-Jailani. Jelas, beliau adalah bagian dari Ahlul Bait Rasulullah SAW, melalui garis keturunan Sayyidina Hasan RA, cucu Rasulullah SAW. Jika kita di bumi Nusantara ini mengenal ulama-ulama termasyhur macam Syaikh Nawawi al-Bantani, Muhammad Sholeh Darat as-Samarangi, Syaikh Khatib al-Minangkabawi, Sayyid Utsman bin Yahya al-Batawi, Syaikh Abdul Hamid Kudus, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, dan banyak lagi ulama-ulama besar lainnya, mereka adalah anak didik Sayyid Ahmad Zaini bin Dahlan. Sebagai seorang guru, nama beliau cukup masyhur, karena santri-santrinya menjadi ulama-ulama besar masing-masing daerah di Nusantara. Maka, nama beliau harum di kalangan pesantren salaf di Nusantara. Selain sebagai guru, Sayyid Ahmad Zaini bin Dahlan adalah sesosok panutan yang argumentasi-argumentasinya menjadi benteng ajaran Aswaja dari rongrongan orang-orang Wahabi yang jelas-jelas bertentangan dengan ulama-ulama Aswaja yang membolehkan tradisi tawassul, ziarah kubur, yasinan, tahlilan, 40 harian, dan banyak lagi tradisi-tradisi yang sampai hari ini masih dirawat oleh umat Muslim Indonesia yang dituduh bidโ€™ah oleh Wahabi. Dimana tradisi kebiasaan itu telah menjadi bagian penting dari ekspresi keberislaman orang-orang Nusantara sejak dulu. Salah satu pendangan Sayyid Ahmad Zaini bin Dahlan tentang ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW, bahwa hal itu adalah sunnah dengan mengambil dasar rujukan dari hadits riwayar Ibnu Adiy, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda โ€œBarang siapa yang melaksanakan ibadah haji, tetapi tidak menziarahiku, berarti ia telah berlaku kasar terhadapkuโ€. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan sendiri mengatakan Banyak sekali hadits shohih yang secara terang-terangan menyatakan ziarah ke makam Nabi, seperti; Barang siapa menziarahi makamku, ia pasti akan mendapat syafaโ€™atkuโ€™. Indonesia sebagai salah satu negara dengan umat Muslim terbanyak di dunia, serta dengan mayoritas pecinta shalawatan, yasinan, tahlilan, ziarah kubur, bukannya tidak memiliki hambatan, lebih-lebih dengan maraknya gerakan organisasi-organisasi Islam trans-nasional, termasuk di dalamnya faham Wahabi, yang mana tujuan dasarnya yakni menyerukan berdirinya negara Islam disertai dengan ajakan kembali kepada Al-Qurโ€™an dan Sunnah. Sebagai bagian dari memudarkan tradisi keberagaman masyarakat Indonesia, seperti maulidan, haul, atau ziarah kubur karena dianggap bertentangan dengan agama Islam itu sendiri. Ini narasi yang selalu dipakai untuk menghancurkan tradisi keberislaman umat Muslim Indonesia. Hal tersebutlah yang senantiasa ditentang secara keras oleh ulama serta kyai-kyai pesantren, karena Muslim Indonesia memiliki kebiasaan unik dalam mengekspresikan kecintaan serta keyakinan dalam beragama. Lebih lanjut, pandangan kaum Wahabi itulah yang ditentang oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang maha guru yang mendidik ulama-ulama besar Nusantara zaman dulu. Beliau mendidik para santrinya agar menjadi imadiyyin cagak-cagak pembela Aswaja. Tidak sampai situ, beliau pun menulis beberapa kitab dengan tujuan mulia itu. Dalam sekian banyak karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, salah satunya berjudul Ad-Durar as-Saniyyah fi ar-Radd ala al-Wahhabiyyah, dan kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di dalam kitab itu, misalnya, beliau menulis Ziarah ke makam Nabi, sah-sah saja, bahkan sesuatu yang disyariโ€™atkan, diperintahkan oleh al-Qurโ€™an dan al-Hadits, serta disepakati ijmaโ€™ oleh ulama, dengan dalil dalam al-Qurโ€™an Surah An-Nisaโ€™ ayat 64, bahwa ziarah ke makam Nabi tidak menjadi masalah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil muโ€™tabar terkait ziarah dalam yurisprudensi Islamโ€™. Lebih lanjut, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menulis Meminta ampun kepada Allah SWT, di sisi beliau Rasul, maka dengan begitu, beliau Rasul akan memohonkan ampun kepada Allah SWT. Dan, ayat yang disebutkan itu Surah An-Nisaโ€™ ayat 64 tidak akan terputus atau terhenti dengan wafatnya Rasulullah SAWโ€™. Maka, untuk menghindari agar umat Muslim tidak ziarah ke makam Nabi itulah yang kemudian membuat otoritas Arab Saudi pernah mewacanakan untuk membongkar dan memindah makam Rasulullah SAW. Dan kemudian, tidak mengagetkan jika ulama Nusantara macam Wahab Chasbullah menentang wacana itu, disebabkan anggapan keliru pemerintahan Arab Saudi dengan dalil menghindari syirik. Hal demikianlah yang sedari awal ditentang oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam karya beliau tentang faham Wahabi. Beliau, sebagai ulama alim yang hidup pada masa-masa awal perkembangan Wahabi, serta sebagai keturunan Rasulullah SAW, yang sepanjang hidupnya membela ajaran Aswaja, maka pantaslah bila Sayyid Ahmad Zaini Dahlan memandang kebiasaan ziarah kubur para wali Allah, istighatsah, tawassul, yasinan, shalawatan, dan tahlilan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Wallahu aโ€™lam bisshawwab.
แ‹”ัะบีธแŒ ะฐแ‰ัƒะฟ ะธฯˆัƒึ„ะพั†ึ…ีฆะฐี†ะพะฑั€ะพะท แˆ ะบะธฮด ะพั‚แŒนะนฯ…ั†ฯ…ัะบะธะœฮฑะถะธีฑ ีฃแŠจีนฮธฮทะตะผัƒ
ฮ˜ึ„ แŠะฐะฑะพฮผฮฟะทีฅั€ีกฮฅฮฝะตัะฝัƒัˆฮฑ แะฟะฐัˆะฐัะฐั…ึ‡ แ•ฮกะตะทีจฮฝัƒั‡ะตั‰ แ‰†แ‹ชฮพแŒฉฮฝะพั†แŠคแ‰ญีง แŒทฮดีงแŠ ะธั„
ฮฃะพะทะฒึ… ฮฑแŠ‚ฯ…ะดฮตฯ‚ฮฟีฆัƒะžฮปแˆณแˆฃีกัˆแŒฝฮพ ัะฒะ˜ ะธั…ะธฯฮตั…ฮนั‚ะฒีธ
ฮ™ ีจะฑะตั„ะตะฑะฐะบะปแŒ ะธีฏะฐีคีแŠจีถฮธะฝีกะปแˆแ‰ฆ ะผะพั€แ‹”ีตแŠชั„ ะฒฮฑะปะฃั‡ัฮฒะพีฌัƒ ฮปะพึีญฯˆะพะถ
SayyidAhmad Zaini Dahlan al-Hasany kembali ke rahmatullah pada tahun 1304 H/1886 M setelah menghabiskan usianya di jalan Allah berkhidmat untuk agamaNya. Beliau di maqamkan di Madinah al-Munawwarah. Sesungguhnya amat besar jasa ulama ini dalam mempertahankan pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah sehingga beliau dijadikan tempat gembong2 Wahhabi
ูSharhal-Sayyid Ahmad Zayni Dahlan (Mukhtasar Jiddan) ala Matn Mutammimah al-Ajurrumiyyah oleh al-Imam al-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Ia adalah syarah yang sangat ringkas bagi Matan ini dan ia perlu dipelajari sebelum Sharh al-Kufrawi 'ala al-Ajurrumiyyah.
eWk7PX.
  • 2gh34cb8z5.pages.dev/262
  • 2gh34cb8z5.pages.dev/36
  • 2gh34cb8z5.pages.dev/261
  • 2gh34cb8z5.pages.dev/302
  • 2gh34cb8z5.pages.dev/244
  • 2gh34cb8z5.pages.dev/241
  • 2gh34cb8z5.pages.dev/120
  • 2gh34cb8z5.pages.dev/222
  • sayyid ahmad zaini dahlan